Indonesia adalah negara dengan keragaman dan perbedaan yang cukup tinggi. Ada banyak suku, etnis, bahasa, budaya dan agama dengan variannya masing-masing. Keanekaragaman yang dimiliki bangsa ini menjadi ciri khas dan kekayaan tersendiri. Bahkan selama ini menjadi percontohan multikulturalisme yang baik, sebab mampu membingkai eksistensi keanekaragaman menjadi suatu kekuatan perekat kebangsaan.
Namun, belakangan muncul kelompok-kelompok yang sering membuat kegaduhan publik dengan propaganda-propaganda yang menjurus ke arah radikalisasi. Tak hanya diperkotaan, tapi menelusup sampai ke pelosok desa. Melalui media mimbar keagamaan, ceramah, dan lebih-lebih media sosial mereka menyebarkan narasi-narasi yang mengarah pada adu domba, hasutan dan fitnahan. Hembusan anti keberagaman, termasuk anti ideologi Pancasila disuarakan.
Suatu ancaman yang harus diwaspadai karena memiliki potensi besar merusak harmonisasi kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Radikalisasi telah merusak beberapa sendi kehidupan bangsa Indonesia. Dulu damai, sekarang terancam menjadi medan lagi perkelahian sesama anak bangsa. Aksi-aksi terorisme yang sering terjadi di Indonesia menjadi fakta miris perjalanan bangsa ini.
Radikalisasi adalah transfer pola berfikir yang mentoleransi kekerasan untuk tujuan tertentu dari orang atau kelompok kepada seseorang orang atau kelompok lain. McCauley dan Moskalenko radikalisasi adalah proses perubahan keyakinan, perasaan, dan perilaku yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan dalam konflik (HIMPSI, 2016).
Kehidupan desa yang sedari dulu diliputi toleransi mulai diwarnai sikap intoleransi, yang dulu akrab dengan perbedaan tanpa melihat latar belakang sekarang mulai mempersoalkan perbedaan. Kerukunan yang terbina secara baik, saat ini mulai digiring pada perpecahan dengan membenturkan penduduk desa supaya membenci kelompok atau orang lain.
Dengan demikian, perlu membentengi masyarakat pedesaan yang lugu supaya tidak terpengaruh oleh paham radikal terutama radikalisasi agama. Di Indonesia agama Islam sering dibajak untuk melegitimasi aksi-aksi kekerasan, termasuk terorisme.
Belajar dari Desa Sungai Malaya; Desa Santri dengan Puluhan Pesantren
Desa ini terletak di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Mayoritas penduduknya pernah nyantri di pesantren-pesantren di Jawa dan Madura. Kemudian, secara turun-temurun memondokkan anak-anaknya ke pesantren di Jawa dan Madura. Saat ini 90% penduduknya adalah alumni pesantren.
Sebagai warga Nahdliyyin pesantren yang dituju adalah pesantren-pesantren NU. Sehingga cara pandang keagamaan yang moderat melekat dalam kehidupan mereka. Sebab itulah, desa ini sangat steril dari paham radikal serta masih mencerminkan kehidupan desa yang rukun dan damai. Suku yang beragam; Melayu, Madura, Bugis dan Dayak, sama sekali tidak mempengaruhi sikap toleransi yang telah terbangun sejak dulu.
Disamping mayoritas santri, di Desa Sungai Malaya terdapat lebih dari sepuluh pesantren. Hal ini melengkapi nuansa santri, aktifitas sehari-hari anak-anak dan pemuda tak lepas dari kegiatan belajar ilmu agama di pesantren-pesantren yang ada di desa ini.
Hal yang menggembirakan, semua pesantren tersebut memiliki sanad keilmuan yang jelas. Memiliki sambungan sanad terhadap pesantren-pesantren di Jawa dan Madura yang nota bene merupakan pesantren NU. Sehingga memiliki karakter beragama yang moderat, tidak ekstrem dan liberal. Pokoknya, cerminan kehidupan damai sekalipun masyarakat multi suku dan etnis terbina secara baik dan harmonis.
Massifnya gerakan radikalisasi di berbagai media, khususnya media sosial, kecil kemungkinan dapat mempengaruhi masyarakat di desa ini. Para orang tua yang memiliki paham keagamaan yang baik sebagai alumni pesantren yang memiliki sanad keilmuan jelas, anak-anak serta kaum muda yang giat belajar di pesantren-pesantren setempat, menutup celah masuknya paham radikal ke desa tersebut.
Sehingga, menurut hemat saya, desa ini layak menjadi desa percontohan sebagai upaya membentengi generasi bangsa dari paham radikal. Ide-ide radikalisasi yang mereka temukan di media sosial tidak mampu merubah pola pikir keagamaan yang telah tertanam sejak di pesantren, lebih-lebih pesantren-pesantren yang ada di tempat ini secara otomatis memberikan penyegaran terhadap paham keagamaan yang moderat.
Selain itu, kelompok-kelompok pemuda juga berperan aktif dalam kegiatan keagamaan yang bernilai positif. Kajian keagamaan ala pesantren NU berkembang pesat. Remaja masjid (Remas), Fatayat maupun Muslimat aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keilmuan bernuansa pemahaman keagamaan yang moderat.
Disamping kegiatan keilmuan, majlis tahlilan, pembacaan burdah dan majlis shalawat juga berkembang pesat. Sehingga, sangat kecil kemungkinan ada warga masyarakat desa ini yang terpapar atau berafiliasi dengan kelompok radikal. Andaipun ada, akan sangat mudah diketahui. Namun sampai saat ini tidak ada dari mereka yang terpengaruh doktrin radikalisme, lebih-lebih terorisme.
Sungguh, menjadi pemandangan kehidupan seperti tempo dulu masa nenek moyang kita yang harmonis, sekalipun diliputi dengan perbedaan suku, etnis dan agama. Karakter masyarakat Nusantara yang toleran, menghargai perbedaan dan semangat nasionalisme yang tinggi masih berjalan baik di desa ini.
Patut menjadi contoh sekaligus pelajaran, bahwa radikalisi hanya bisa menyasar dan mempengaruhi mereka yang lemah pengetahuan agamanya. Pelajaran penting berikutnya, pesantren yang terbukti memiliki sanad keilmuan yang jelas menjadi benteng kokoh, sebagai perisai diri yang kuat untuk tidak terpengaruh atau dipengaruhi oleh paham radikal.