Edukasi Dan Partisipasi: Kunci Kontestasi Demokrasi Damai

Edukasi Dan Partisipasi: Kunci Kontestasi Demokrasi Damai

- in Narasi
1662
0
Edukasi Dan Partisipasi: Kunci Kontestasi Demokrasi Damai

Tanggal 27 Juni 2018 telah menorehkan catatan dalam lembaran sejarah demokrasi Indonesia. Untuk ketiga kalinya pada tanggal tersebut digelar Pilkada Serentak setelah sukses sebelumnya pada tahun 2015 dan 2017.

Pilkada serentak tahun 2018 lebih besar daripada Pilkada 2017. Tercatat ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018. Dari jumlah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018.

Hajatan demokrasi Pilkada Serentak 2018 awalnya diprediksi rawan konflik. Konflik menjadi batu sandungan bagi terciptanya gelaran Pilkada yang berkedamaian. Akhirnya secara umum dapat berjalan lancar dan damai seperti sebelumnya. Capaian ini penting dijadikan pembelajaran dan evaluasi bagi penyelenggaraan kontestasi berikutnya yaitu Pileg dan Pilpres 2019. Gesekan horisontal yang berpotensi konflik menjadi tantangan yang perlu diantisipasi dan ditangani. Faktor kunci harus menjadi prioritas yaitu edukasi publik dan partisipasi seluruh pihak.

Sandungan Kedamaian

KPU sempat memprediksi potensi konflik pilkada 2018 meningkat dibanding tahun 2017. Polri telah telah memetakan 171 titik rawan konflik terkait penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Daerah yang dinilai paling rawan konflik pada Pilkada 2018 antara lain Jawa Barat, Papua, dan Kalimantan Barat.

Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Jika masing-masing pihak mau menang sendiri, maka proses berlanjut ke tahap polarisasi. Perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi obyektivitas, maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif.

Elemen kontestan, baik tim sukses calon kepala daerah maupun partai politik merupakan garda terdepan dalam perjuangan. Kerawanan dapat diantisipasi dengan memahami peta jaringan dan pergerakan yang meraka lakukan. Semakin rinci informasi yang dimiliki akan semakin memudahkan upaya antisipasi sekaligus resolusi jika konflik terjadi.

Menuju Damai

Gesekan di lapangan adalah keniscayaan, tetapi tidak semestinya melebar menjadi konflik destruktif yang merusak kedamaian. Hal ini menuntut dilakukannya manajemen dalam rangka mengatasi atau resolusi konflik hingga tercipta Pilkada yang damai. Galtung (2003) menguraikan bahwa perdamaian terwujud dengan diagnosis, prognosis, dan terapi yang tepat. Kekeliruan dalam melakukan diagnosis membawa akibat kekeliruan dalam melakukan prognosis termasuk terapi yang akan dilakukan.

Produk hukum yang berkaitan dengan konflik sosial adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. UU ini mengatur tentang tata cara menangani konflik sosial dengan pencegahan, penghentian konflik dan penanganan pascakonflik.

Setiap pihak memiliki tanggung jawab dalam menghadirkan Pilkada 2018 yang aman dan damai. Pertama, parpol, timses dan calon. Parpol dan calon harus mampu mengendalikan kader dan tim suksesnya. Satu hal tidak dibenarkan adalah klaim suatu kawasan menjadi daerah kekuasaan parpol atau calon tertentu. Parpol dan calon harus dapat melakukan manajemen konflik secara arif bukan justru memancing dan memperbesar gesekan. Komunikasi antar elit parpol dan calon mesti dibangun secara intensif atas dasar kekeluargaan.

Kedua, penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus mengantisipasi konflik dengan bekerja secara adil. Penting bagi KPU untuk mengelola Pilkada dengan mempertimbangkan peta kerawanan di atas. Bawaslu juga mesti jeli mengawasi pelanggaran. Penindakan harus berkeadilan dan memprioritaskan solusi permusyawaratan.

Ketiga, aparat pemerintah dan tokoh. Aparat pemerintah hingga tingkat terendah seperti Ketua RT/RW harus mampu mempelopori penciptaan suasana kondisif di setiap wilayahnya. Pendidikan politik warga wajib diprogramkan. Perangkat pemerintahan tidak dibenarkan menunjukkan keberpihakan politik. Tokoh masyarakat dan agama juga dapat berperan strategis melalui pendekatan budaya dan spritual.

Keempat, aparat keamanan. Kepolisian setelah mengetahui peta secara spasial, penting mengidentifikasi potensi sumber dan latar belakang konflik hingga ke akar-akarnya. Selama ini pendekatan antisipasi dilakukan melalui Intelejen dan Babinkantibmas. Intelejen untuk memantau perkembangan konflik dan Babinkantibmas untuk komunikasi sosial berbasis kearifan lokal. Semua faktor konflik akan mudah tersulut di tahun politik ini. Aparat keamanan penting menggandeng parpol, penyelengggara pemilu, pemerintah, tokoh, dan semua elemen untuk upaya antisipasi konflik politik.

Setiap daerah memiliki segudang kearifan lokal berbasis budaya masing-masing. Kompetisi pemilu hendaknya dilaksanakan secara ksatria dengan menjunjung kejujuran dan sikap siap kalah menang. Semoga dengan kesadaran dan komitmen semua pihak, Pilkada 2018 yang damai akan terulang dan lebih baik lagi pada Pileg dan Pilpres 2019 mendatang.

Facebook Comments