Kamu pernah lihat billboard (papan iklan) dengan siluet seorang kakek tua berkaca mata, berdasi kupu-kupu, dan berjanggut putih, dengan tulisan “its finger lickin’ good” di dekatnya? Kakek itu adalah kolonel Sanders, penemu resep ayam goreng berbumbu tepung yang renyah, sementara slogan tersebut adalah bahasa slang yang artinya kurang lebih sebentuk pujian untuk makanan yang enak, hingga jari-jemari harus dijilati karena saking enaknya.
“Menjilati jari-jemari” (sesudah makan) memiliki makna metonimis. Pada slogan di atas, ia bermakna kiasan, yaitu “hanya” merupakan ungkapan kelezatan bagi produk sebuah restoran yang mula-mula berawal dari Kentucky itu. Akan tetapi, dalam tradisi Muslim, ungkapan tersebut bermakna literal, yakni benar-benar merupakan anjuran menjilati jari-jemari sesudah makan karena dorongan sunnah, terlepas makanan itu enak atau tidak, tidak termasuk karena, misalnya, ditemukan bahwa enzim banyak terkandung di celah-celah jari-jemari.
Ketika saya masih kecil, nenek (saya tinggal bersama beliau) akan menghardik jika piring yang saya gunakan tidak dalam keadaan seperti dipel ketika saya meninggalkannya cuci tangan. “Bersihkan, jangan sisakan sebutir pun! Butiran yang di piring kamu itu akan menangis kalau dibiarkan begitu!” Demikian pesan nenek. Beliau tidak menjelaskan bahwa motif sunnah Nabi berada di baliknya, seperti bahwa setiap butiran nasi itu turut berdzikir, dan sebagainya.
Mungkin karena masih kecil, ketika itu saya tidak butuh rasionalisasi: seperti apakah tangisan butir nasi itu, misalnya. Sekarang, saya memahami kearifan leluri-leluhur di dalam ajaran ini. Nenek menyelusupkan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan sekaligus. Internalisasi nilai melalui insanan (personifikasi) banyak ditemukan dalam contoh yang lain. Larangan mubazir terhadap makanan sekaligus penghargaan terhadap rezeki seperti ini hanyalah satu dari sekian banyak contohnya.
Saat ini, jumlah manusia di bumi telah mencapai 7 miliar lebih. Jumlah ini akan terus bertambah sedangkan produksi bahan pangan dan lahan pertanian terus berkurang. Kalaupun akan ada teroka baru, maka alam liar harus dibabat dan itu artinya akan menciptakan masalah baru lagi. Singkatnya, ketahanan pangan kita sangat lemah.
Secara hiperbolis, Elizabeth Royte menulis dalam National Geographic, (Maret, 2016); “Jangan Buang Makananmu”, bahwa limbah makanan yang dibuang orang, jika dikumpulkan dan dijadikan sebuah negara, akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia , setelah Tingkok dan Amerika Serikat. Masih kurang mengerikan? Di seluruh dunia, tulisnya, produksi makanan yang terbuang dalam setahun dapat menghabiskan air sebanyak aliran Sungai Volga, sungai terbesar di Eropa, juga selama setahun.
Selanjutnya, ketika soal makanan dihubungkan dengan air, masalah akan merembet ke mana-mana, mulai dari problem pengairan bahan tanaman hingga konsumsi air manusia. Menurut laporan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) yang termuat dalam buku The Water We Eat (2013), penggunaan air yang terbanyak adalah untuk mengolah produk makanan. Sekitar 92% air digunakan untuk mengolah masakan; dan hanya 3,6% digunakan untuk keperluan rumah tangga, seperti mandi dan sikat gigi (KOMPAS, 2016). Dengan demikian, banyaknya limbah makanan juga berarti juga pemubaziran air yang begitu banyak. Selebihnya, ia juga akan berdampak pada hal yang lain, pada bahan bakar, pada listrik, pada angkutan hasil tani, dan sangat banyak lagi mata rantainya sehingga ia siap menjadi hidangan di atas meja makan.
Saat kita duduk di sebuah restoran, atau dalam pesta, sering kita melihat sisa makanan yang tidak dihabiskan. Ke manakah sisa-sisa makanan itu? Tong sampah, dong. Apalagi di restoran-restoran mewah, akan lebih banyak lagi pemandangan yang demikian bakal kita jumpai. Sebagai manusia moderen yang menu makannya kian beragam, ngurus limbahnya saja kita kewalahan, belum lagi bicara sampah plastik (seperti sedotan, air kemasan, dll) yang nyaris selalu ada setiap kali kita makan, bahkan seolah bukan lagi masalah sebab ia terlanjur menjadi gaya hidup manusia kekinian.
Satu lagi; di balik yang tampak ini, masih ada satu masalah lagi, yaitu sedemikian banyaknya pemubaziran bahan pangan mentah yang dibuang hanya karena ia buruk secara bentuk. Ketika kita sedang makan di rumah makan, pernahkah kita berpikir, seperti apakah bentuk kentang yang kita santap sebagai perkedel atau bentuk mula wortel yang sudah menjadi bagian dari sup?
Kentang dan wortel yang rupa bentuknya buruk, sekadar menyebut contoh, lebih dulu ditolak oleh supermarket. Oleh karena itu mereka tidak pernah masuk ke dapur restoran. Mungkin ia hanya beredar di pasar tradisional, itupun kalau beruntung dibeli orang. Sisanya membusuk, menjadi limbah hanya karena ia buruk secara bentuk.
Di negara-negara maju, seperti Amerika, hal seperti ini menjadi masalah serius bagi petani. Mereka kerap terpaksa membuang makanan yang masih layak olah hanya karena tidak bisa diekspor, bukan karena alasan yang lain. Limbah makanan itu, yang menghabiskan banyak air, juga banyak pupuk, banyak biaya lainnya, sejatinya masih sangat mungkin untuk sampai ke mulut manusia sebagai makanan. Ia masih sanggup menjadi hidangan bagi jutaan orang andai bisa dikelola, tapi apa mau dikata? Inilah ironi kemanusiaan. Dan semua ini terjadi di bumi, di mana satu dari tujuh orang penduduknya menderita kelaparan.