Guru sebagai Garda Terdepan Literasi Anak di Tengah Masifnya Propaganda Radikal Digital

Guru sebagai Garda Terdepan Literasi Anak di Tengah Masifnya Propaganda Radikal Digital

- in Narasi
2
0
Peran Guru dalam Mencetak Generasi Nasionalis Anti-Radikalisme; Hal yang Tak Bisa Digantikan AI

Guru selalu menjadi figur yang dipercaya dalam pembentukan karakter anak. Namun, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan hari ini jauh berbeda dengan satu dekade lalu. Di tengah derasnya arus digital, propaganda radikalisme kini menyusup melalui media sosial, video pendek, hingga game online yang dimainkan jutaan anak setiap hari. Dalam ekosistem baru ini, guru bukan hanya pengajar materi akademik, tetapi juga kompas moral dan penjaga literasi kritis yang menentukan apakah seorang anak mampu membaca dunia digital dengan bijak atau justru terseret arus ekstremisme.

Perubahan pola rekrutmen kelompok radikal menjadikan peran guru semakin penting. Jika dulu radikalisasi berlangsung melalui jaringan fisik seperti halaqah tertutup, pertemuan, atau kelompok-kelompok eksklusif, kini proses itu lebih banyak terjadi secara senyap melalui ruang virtual. Anak yang tampak tenang di kelas bisa saja sedang terlibat dalam percakapan penuh ujaran kebencian di ruang obrolan gim online, atau menonton konten radikal yang muncul berulang akibat algoritma. Kondisi ini membuat guru perlu memiliki sensitivitas baru: kemampuan membaca tanda-tanda paparan ekstremisme yang kerap muncul dalam perilaku, bahasa tubuh, dan perubahan pola interaksi siswa.

Di sini, literasi digital menjadi kunci. Guru yang melek digital akan memahami bagaimana propaganda bekerja: bagaimana algoritma mengunci anak dalam ruang gema (echo chamber), bagaimana narasi ekstremis dibungkus melalui visual yang menarik, dan bagaimana game online menjadi medium efektif karena menyediakan ruang imersif yang memudahkan penyebaran kekerasan. Banyak kelompok ekstrem global kini menggunakan game untuk dua tujuan: normalisasi kekerasan dan rekrutmen melalui interaksi intens dalam kelompok gim. Guru perlu menjelaskan kepada siswa bahwa tidak semua hiburan digital bersifat netral; ada pesan, ideologi, dan niat yang disisipkan di baliknya.

Selain literasi digital, guru juga memegang peran penting dalam pembentukan daya kritis anak. Anak yang terbiasa diajak berpikir, berdiskusi, dan menganalisis informasi akan lebih sulit terjerumus pada narasi hitam-putih khas propaganda ekstremis. Di kelas, guru bisa mengajak siswa membedah hoaks, memahami cara kerja manipulasi, dan melihat bagaimana narasi kebencian dibangun. Kegiatan sederhana seperti refleksi media, analisis konten viral, atau diskusi tentang empati dapat menjadi vaksin moral yang efektif.

Guru juga memiliki kesempatan untuk mengamati dinamika psikologis siswa secara lebih dekat. Banyak anak yang rentan terpapar radikalisme berasal dari kondisi emosional tertentu: merasa terisolasi, kehilangan makna, kurang dihargai, atau mencari identitas. Game online menjadi pelarian, komunitas virtual menjadi satu-satunya ruang untuk merasa diterima, dan dari situlah radikalisasi dapat tumbuh. Guru yang peka dapat mendeteksi perubahan perilaku: siswa yang tiba-tiba menyendiri, menggunakan simbol-simbol ekstremis, mudah marah, atau menunjukkan ketertarikan berlebihan pada narasi kekerasan. Intervensi dini guru dapat mencegah proses yang jauh lebih berbahaya di kemudian hari.

Namun, guru tidak bisa bekerja sendiri. Dukungan sekolah dan kebijakan pendidikan sangat menentukan. Sekolah perlu menjamin adanya ruang dialog, konseling yang efektif, dan pelatihan khusus bagi guru agar mampu memahami pola radikalisasi kontemporer. Pendidikan karakter dan pendidikan sosial-emosional perlu diperlakukan sebagai fondasi, bukan sekadar pelengkap. Guru harus diberi ruang untuk menjalankan peran mendidik secara utuh, bukan hanya mengejar target kurikulum dan administrasi.

Pencegahan radikalisme melalui peran guru sebenarnya berangkat dari prinsip sederhana: hadir, mendengar, dan memandu. Ketika guru hadir secara emosional, anak merasa dilihat. Ketika guru membuka ruang dialog, anak merasa dihargai. Dan ketika guru memandu proses berpikir, anak mampu menyaring dunia digital yang penuh jebakan.

Dalam lanskap digital yang makin tidak terkontrol, guru adalah benteng terakhir sebelum propaganda ekstrem mencapai pikiran anak. Mereka tidak hanya mengajarkan rumus, tetapi membangun kemampuan membedakan mana informasi sehat dan mana racun ideologis. Mereka tidak hanya menyampaikan materi, tetapi menyiapkan generasi muda agar tidak mudah dimanipulasi oleh narasi kebencian yang menjalar melalui layar kecil di genggaman tangan.

Ketika guru menjalankan peran literasi digital dan moral secara simultan, sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi ruang aman yang memperkuat daya tahan anak terhadap ekstremisme. Dan di tengah masifnya propaganda radikal berbasis teknologi, peran itu menjadi semakin vital untuk menjaga masa depan bangsa.

Facebook Comments