Hoax, Nalar dan Perdamaian

Hoax, Nalar dan Perdamaian

- in Narasi
1376
0

Beberapa waktu yang lalu, muncul gerakan anti-hoax di berbagai tempat. Yakni di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo dan Winosobo. Gerakan tersebut menggambarkan adanya kegelisahan atas merebaknya berita-berita palsu (hoax) di dunia maya belakangan ini. Berita palsu yang tidak menyuguhkan fakta, bahkan membelokkan kenyataan, jelas menjadi sangat berbahaya jika dikonsumsi publik. Terlebih, di era digital sekarang, di mana setiap orang bisa dengan mudah mengakses informasi, mendapatkan berita dengan cepat dan menyebarkannya dengan mudah.

Kemunculan berita-berita palsu (hoax) memang dilandasi banyak motif. Baik yang bermotif politis tertentu, maupun sekadar untuk mencari sensasi dan mendulang pengunjung (visitor) media online. Yang harus disadari adalah, kebanyakan berita palsu yang umumnya menyebarkan kebencian dan provokasi tersebut dibuat bukan oleh awak profesional media yang mengerti tentang etika pemberitaan. Meskipun dengan perwajahan mirip “portal berita”, jika diamati secara lebih cermat, konten-konten yang ada di dalamnya lebih mengarah pada sekadar opini yang menggiring publik, bukan sebuah kabar dengan karakteristik yang memenuhi etika pemberitaan.

Kebanyakan, berita-berita palsu (hoax) dibuat para buzzer, yakni orang-orang dengan keterampilan khusus untuk bisa menulis kabar-kabar yang bisa memengaruhi bahkan mengkonstruksi realitas. Berita-berita yang dibuat para buzzer tak selalu atas inisiatif sendiri. Mengutip situs gudanghoax.com, sebuah situs yang digawangi para bloger anti-hoax, secara garis besar ada tiga alasan yang mendasari orang atau suatu kelompok membuat situs abal-abal dan menebarkan berita-berita palsu. Pertama, sekadar untuk mencari sensasi dan ketenaran. Kedua, memang sengaja dibayar untuk menyerang, menyebar fitnah, dan kebencian terhadap pihak tertentu. Dan ketiga, mencari uang dari pemasang iklan.

Dengan berbagai motif tersebut, kita menjadi sadar bagaimana mesti bersikap terhadap setiap isu yang berhembus di media sosial. Tak semua informasi menggambarkan kenyataan. Kehati-hatian agar tak mudah menelan mentah-mentah setiap berita yang kita temui menjadi hal utama yang harus disadari sejak awal. Di samping itu, perlu kekompakan atau gerakan bersama untuk bisa menangkal berita-berita palsu. Sebab, akan menjadi sulit untuk bisa memberantas penyebaran berita-berita tersebut jika tak ada gerakan bersama untuk lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi dan menyebarkan berita.

Di sinilah kemudian menjadi terlihat pentingnya gerakan dan deklarasi anti-hoax yang dilakukan beberapa waktu lalu. Di samping menjadi deklarasi atau tekad bersama untuk memerangi berita palsu, momentum tersebut juga bisa dijadikan pembelajaran bagi masyarakat agar bisa lebih cerdas dalam mengkonsumsi informasi di dunia maya melalui berbagai edukasi atau literasi media, serta berbagai hal yang lain membuat masyarakat lebih cerdas dan kritis.

Nalar dan Perdamaian

Merebaknya berita-berita palsu di dunia maya, terutama media sosial dengan sendirinya menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat kita memang cenderung mudah termakan berita-berita palsu. Sebab, jika tidak, berita-berita palsu tidak akan mudah menyebar dengan cepat dan luas. Jika dirunut dari akarnya, salah satu hal paling mendasar yang bisa digambarkan dari kecenderungan masyarakat tersebut adalah kurangnya literasi media—yang berjung pada kurangnya kemampuan bernalar saat dihadapkan pada suatu isu atau kabar. Padahal, kemampuan bernalar merupakan bekal penting di era digital yang dibanjiri beragam informasi seperti sekarang.

Kemampuan bernalar akan membuat seseorang bisa berpikir kritis dalam menilai segala sesuatu, termasuk dalam menilai suatu isu atau berita. Kemampuan bernalar terlihat dari sejauh mana seseorang mampu berpikir jernih. Berpikir jernih artinya kemampuan melepaskan diri dari segala bentuk egoisme, emosi, prasangka, dan berbagai kebencian yang bisa memengaruhi pemikirannya dalam menilai suatu persoalan. Berpikir jernis akan bisa mendekatkan seseorang pada suatu penilaian yang lebih adil dan objektif.

Selain itu, jika kita berbicara dalam konteks yang lebih luas, kemampuan bernalar juga merupakan hal mendasar yang dibutuhkan untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis dan damai. Sebab, kemampuan bernalar yang ada dalam diri seseorang akan membuatnya mampu menciptakan dialog dan hubungan harmonis dengan orang lain yang berbeda–baik berbeda dalam hal budaya, pemikiran, dan lain sebagainya.

Mengutip Zaid Wahyudi lewat laporan akhir tahun 2016 dalam Kompas (24/12) yang menyoroti soal merebaknya berita palsu belakangan ini, menjelaskan bahwa ketidakmampuan bernalar sangat membahayakan. Sebab, dalam konteks Indonesia, di mana berbedaan, keragaman, dan kemajemukan sudah menjadi karakter bangsa, dibutuhkan kemampuan berdialog untuk menjalin komunikasi dan hubungan harmonis yang mengikat perbedaan tersebut. Sedangkan dialog antar kelompok yang berbeda butuh kemampuan menalar; kemampuan menata dan mengejawantahkan pikiran lewat bahasa yang baik dan etis.

Sebaliknya, tanpa nalar dialog hanya berisi emosi, dengan kosa kata mentah—tanpa ide dan konten yang bisa dikomunikasikan secara etis. Akibatkan, dialog cenderung memantik kemarahan, permusuhan, dan berujung pertikaian dan perpecahan. Tentu, ini bukan dialog yang ideal jika kita bicara kebhinnekaan, persaudaraan, dan persatuan antar elemen bangsa. Pada akhirnya, momentum memerangi dan membendung berita-berita palsu (hoax) akan mengantarkan kita pada refleksi tentang pentingnya edukasi dan literasi media; semangat untuk berpikir kritis, jernih, dan pentingnya mengasah kemampuan bernalar. Karena kemampaun menalar adalah bekal berharga yang bisa mengantarkan kita menuju perdamaian.

Facebook Comments