Setidaknya, 17 kali sehari umat Islam berdoa pada Allah Swt supaya diberi petunjuk jalan lurus (baca: jalan kebenaran). Ihdina al-shirath al-mustaqim. Ya Tuhan, tunjukkanlah kami jalan lurus (Qs. al-Fatihah ayat 6). Doa ini, bahkan menjadi rukun shalat. Tidak membacanya, berarti tidak sah shalatnya. Nabi Muhammad Saw bersabda; “Shalat tidak sah, kecuali dengan membaca Surah al-Fatihah.” (HR Ahmad, Abu Daud, al-Tirmizi dan Ibn Hibban). Termasuk di dalamnya, tentu saja, doa mohon pentunjuk jalan lurus itu.
Tapi, apa makna yang sedang kita mohonkan itu?
Berdasarkan ayat selanjutnya, al-shirath al-mustaqim, adalah “jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” Yaitu jalan para nabi (al-anbiya’), para saleh (al-shalihin), atau para mati syahid (al-syuhada’). Sebagian tafsir mengaitkannya dengan al-Islam. al-Shirath al-mustaqim berarti al-Islam itu sendiri. Inilah jalan lurus, bukan jalan orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub) dan orang-orang yang tersesat (al-dhallin).
Terma al-Maghdhub lumrahnya dimaknai orang-orang yang telah mengetahui kebenaran, namun menyembunyikannya karena tujuan-tujuan tertentu. Sedang al-dhallin, lumrahnya dimaknai orang-orang yang tersesat lantaran tak mampu memilah mana yang hak dan mana yang batil. Keduanya sama-sama kelompok yang merugi.
Jika kita percaya ungkapan Syeikh Abdullah Darraz bahwa al-Qur’an laksana mutiara, yang akan memancarkan cahaya berbeda-beda sesuai latar belakang pembacanya, maka penafsiran di atas, itu baru satu tetes mutiara pemahaman dari sekian banyak tetes mutiara pemahaman yang lain. Yang lain itu, misalnya, memahaminya melalui pendekatan tauhid, bukan ilmu tauhid.
Melalui pendekatan tauhid, al-shirath al-mustaqim bisa dimaknai sebagai tauhid itu sendiri. Bahwa al-shirath al-mustaqim adalah “jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat,” itu tak lain adalah jalannya orang-orang yang mendapat nikmat bisa menyaksikan dan wahdah (menyatu) dengan Allah Swt. Itulah Islam generic yang bermakna ketundukan dan kepasrahan hanya pada Allah Swt.
al-Maghdhub, secara tauhid, berarti orang-orang yang masih berjibaku pada lapisan duniawi atau eksoterik dan belum menyentuh kedalaman. Kalau itu kaitannya dengan agama, al-maghdhub adalah mereka yang terjebak pada formalitas/bentuk atau kulit agama. Ini mengakibatkan pandangan mereka luput dari makna esoteric dan lepas dari makna kebenaran hakiki. Atas alasan inilah, mereka dianggap menyembunyikan kebenaran.
Sedang al-dhallin, secara tauhid, berarti orang-orang yang berteguh hanya pada pemikiran atau keyakinannya. Orang yang berbeda dari dirinya dianggap salah, tersesat. Padahal Qs. al-Nahl [16]: 125 menegaskan: “Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk.” Dengan demikian, al-dhallin, yang merupakan “para penghakim” di dunia, adalah mereka yang melabrak Qs. al-Nahl ayat 125 itu.
Untuk lebih mempertegas pemaknaan al-shirath al-mustaqim sesuai kaca mata tauhid, kita tidak boleh abai pada ayat-ayat lain yang juga berbicara tentang tema ini. Misalnya, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Allah itu Tuhanku dan Tuhan kalian. Maka sembahlah Dia. Inilah shirath mustaqim.” (Qs. Ali Imran [3]: 51).
Ayat Ini menunjukkan, al-shirath al-mustaqim adalah bentuk penyembahan atau ketundukan pada Allah Swt. Siapa saja yang menyembah-Nya, dengan jalan agama apa saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun, maka dia telah menapaki al-shirath al-mustaqim. Jalan agama itu sendiri banyak; ada yang tidak komplit, ada yang semi komplit, dan ada yang sangat komplit. Masing-masing umat memiliki aturan dan jalannya yang terang (syir’atan wa minhajan) sendiri-sendiri. Silahkan pilih yang kita cocok!
Dalam ayat lain, Allah Swt juga berfirman: “Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepadamu dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Siapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah ditunjukkan jalan yang lurus.” (Qs. Ali Imran [3]: 101).
Dengan gamblang, ayat ini juga menunjukkan, al-shirath al-mustaqim adalah ketika kita berpegang teguh hanya pada Allah Swt. Pasrah hanya pada Allah Swt. Berserah diri juga hanya pada Allah. Artinya, kita tidak menggantungkan persoalan pada selain Allah Swt. Dan, ini berlaku bagi siapa saja, tanpa pandang latar belakang apapun. Karenanya, al-shirath al-mustaqim, sesuai kaca mata tauhid, adalah jalan siapa saja yang mendapat kenikmatan bertauhid, menyembah, dan berpegang teguh hanya pada Allah Swt. Siapa saja yang menjalankan tiga prinsip ini, dia telah menapaki al-shirath al-mustaqim. Inilah jalan para nabi, para saleh, dan para mati syahid.
Sebagai buahnya, orang yang telah menapaki jalan ini tidak akan mudah menyalahkan orang lain yang berbeda, tak gampang menyesatkan orang lain yang tidak sama, dan seterusnya. Ini tak lain karena, pejalan di jalan ini tidak akan memutlakkan pandangan atau pikirannya sebagai yang terbenar. Yang liberal tidak akan menganggap salah yang fundamental. Yang fundamental tidak akan menganggap keliru yang liberal. Yang Islam tidak akan menganggap kufur yang non-Islam, dan seterusnya.
Sebab, jika terjadi pembenaran dan pemutlakan, secara tauhid itu nyata-nyata syirik, yaitu penyekutuan pada Allah Swt dalam hal pembenaran dan pemutlakan pemikiran. Toh, Yang Maha Benar dan Maha Mutlak hanyalah Allah Swt. Perbedaan keyakinan dan jalan yang ditempuh, hanyalah perbedaan metode menuju-Nya. Yang penting, satu sama lain tidak saling merusak dan atau merugikan. Inilah tauhid. Inilah al-shirath al-mustaqim, yang akan menjadi tenda besar kedamaian dunia. Dan, inilah titik temu perbedaan-perbedaan itu. Allah Swt kelak yang akan menjelaskan kenapa ada perbedaan itu.