Intoleransi, Rasisme dan Ruang Publik Berbasis Kebhinekaan

Intoleransi, Rasisme dan Ruang Publik Berbasis Kebhinekaan

- in Narasi
1318
0
Intoleransi, Rasisme dan Ruang Publik Berbasis Kebhinekaan

Dalam dua dekade terakhir, ada pergeseran signifikan terkait lanskap hubungan sosial keagamaan di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia dikenal sebagai negara muslim-demokrasi terbesar di dunia yang berkarakter moderat, santun, ramah, dan toleran pada perbedaan. Indonesia bahkan kerap diidentikkan sebagai bentuk ideal negara muslim yang bisa menyelaraskan antara Islam dan demokrasi. Kecenderungan itu berubah seiring dengan kian menguatnya arus konservatisme keagamaan dan fanatisme kesukuan yang terjadi sejak awal era Reformasi (1998) hingga saat ini. Konservatisme keagamaan mendorong munculnya ekspresi kesalehan muslim di ruang publik yang acapkali terlalu dominan dan bersikap arogan kepada kelompok minoritas. Contoh paling baru ialah kasus pemaksaan jilbab pada siswi non-muslim di SMKN 2 Padang.

Sedangkan fanatisme kesukuan telah mendorong adanya sikap superior dari kelompok suku atau etnis tertentu. Sindrom superiorisme inilah yang lantas melahirkan sikap rasis pada golongan lain, atau bahkan pada titik tertentu melahirkan gerakan separatisme. Kasus ujaran rasisme terhadap Natalius Pigai yang ramai diperbincangkan publik belakangan ini merupakan contoh nyata sikap rasistik. Di titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa persoalan terkait kebhinekaan NKRI bisa muncul dari perbedaan agama dan perbedaan suku atawa etnis. Dua hal itulah (intoleransi agama dan rasisme) yang sepatutnya mendapatkan perhatian serius pemerintah dan masyarakat. Intoleransi dan rasisme ialah musuh kebhinekaan NKRI yang harus kita lawan.

Kecurigaan Sebagai Akar Intoleransi dan Rasisme

Intoleransi agama dan rasisme tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dilatari oleh berbagai faktor. David Lochhead (1988) menyebut bahwa intoleransi agama muncul dari hubungan antaragama yang dipenuhi kecurigaan dan prasangka satu sama lain. Lochhead menyebut bahwa setiap agama mengandung benih ideologi yang bersifat isolasionis (menutup diri) dan konfrontasionis (bersaing). Dua ciri khas agama inilah yang kerap problematis ketika diaplikasikan dalam konteks ruang publik yang plural. Nyaris semua agama mengklai ajarannya universal dan ditujukan kepada seluruh umat manusia. Namun, dalamp perjalanannya, klaim universalitas itu kerap ditegakkan dengan cara-cara yang intoleran bahkan menjurus kekerasan.

Demikian pula, rasisme juga tidak lahir secara instan melainkan memiliki latar historis dan sosiologisnya. Secara historis, rasisme merupakan warisan kolonialisme yang mengklasifikasikan manusia berdasar keturunan ras dan warna kulit. Sedangkan secara sosiologis, rasisme muncul karena adanya sikap curiga, takut dan anti pada keberadaan entitas lain yang berbeda suku, etnis, warna kulit dan sejenisnya. Rasisme tidak lahir dengan sendirinya, melainkan kerap berakar dari pandangan keagamaan, sosial, politik dan budaya yang segregatif. Dalam konteks Indonesia kita melihat bahwa intoleransi dan rasisme berkelindan dengan maraknya politik identitas yang menjadi tren akhir-akhir ini. Burhanudin Muhtadi dalam bukunya Populisme, Politik Indentitas, dan Dinamika Elektoral menyebutkan bahwa pasca mewabahnya politik identitas yang memuncak pada konteks pertarungan panas Pilkada DKI 2017, kasus intoleransi agama di Indonesia cenderung naik.

Kelindan antara intoleransi agama dan rasisme yang dibingkai dalam politik identitas ialah ancaman serius bagi kemajemukan NKRI. Bangsa Indonesia secara historis dan sosiologis memiliki pertautan yang panjang tentang bagaimana mengelola keragamaan agama, suku, etnis, bahasa, budaya dan lain sebagianya. Dipilihnya Pancasila sebagai falsafah bangsa –alih-alih ideologi yang berasal dari luar seperti liberalisme, sosialisme atau bahkan islamisme— dan juga semboyan Bhineka Tunggal Ika ialah upaya para pendiri bangsa untuk membangun sebuah tatanan sosial-politik-keagamaan yang egaliter. Dalam konteks kekinian, Pancasila kiranya bisa menjadi modal bangsa dalam membangun ruang publik yang bebas, terbuka dan berbasis pada kebhinekaan.

Ruang Publik Berbasis Kebhinekaan

Ruang publik berbasis kebhinekaan ini sangat penting untuk memastikan seluruh entitas suku, agama, ras, dan etnis mendapatkan ruang untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya tanpa melanggar hak dan kebebasan entitas lain. Ruang publik berbasis kebhinekaan juga diperlukan agar tidak ada kelompok agama atau suku yang merasa lebih dominan ketimbang kelompok suku dan agama lain. Gagasan ruang publik berbasis kebhinekaan ini kiranya urgen dan relevan diterapkan di Indonesia di tengah menguatnya praktik intoleransi agama dan rasisme. Ruang publik dalam hal ini mengacu pada dua makna, yakni ruang publik dalam artian konkret, sebuah bangunan fisik yang bisa diakses oleh masyarakat umum tanpa terkecuali. Juga makna dalam artian abstrak, yakni ruang dimana segala ekspresi dan pemikiran bisa diungkapkan. Inilah yang disebut Jurgen Habermas sebagai public space.

Keberadaan ruang publik dengan makna dan fungsi di atas hendaknya dipahami seluruh entitas masyarakat. Sehingga, relasi sosial yang terjalin di dalamnya bisa merepresentasikan kemajemukan dan kesetaraan. Masyarakat harus memahami batas-batas antara ruang privat dan ruang publik agar tidak terjadi benturan sosial. Dalam konteks pemaknaan konkret, ruang-ruang publik seperti kantor pemerintahan dan sekolah negeri idealnya bisa merepresentasikan prinsip kebhinekaan dan steril dari segala unsur pemaksaan identitas. Di kantor pemerintah misalnya, semua orang dengan berbagai latar belakang suku, agama dan ras yang berbeda idealnya memiliki akses yang sama terhadap pelayanan publik. Begitu pula sekolah-sekolah negeri hendaknya tidak memaksakan aturan yang bersifat diskriminatif terutama pada kaum minoritas.

Dalam pemaknaan yang abstrak, ruang publik berbasis kebhinekaan seperti kanal-kanal komunikasi di dunia maya hendaknya juga merepresentasikan prinsip kebhinekaan. Dunia maya yang bebas dan terbuka tidak seharusnya menjadi ajang caci-maki dan ujaran bernada rasis. Dunia maya, terutama media sosial seharusnya menjadi ruang diskursus yang mencerdaskan dan mencerahkan, bukan sebaliknya justru menjadi sarang berkembang-biaknya kebencian dan rasisme. Pemahaman konsep ruang publik berbasis kebhinekaan ini menjadi penting agar sistem demokrasi terbuka yang kita adaptasi di era Reformasi ini tidak mengarah pada sentimen segregasi atau bahkan disintegrasi bangsa.

Facebook Comments