Berbicara tentang etnis Tionghoa, mereka seakan-akan dianggap bukan bagian dari bangsa Indonesia. Orde baru telah menjadi “benalu” gerakan sentiment anti-etnis Tionghoa. Hingga sampai detik ini, berbagai macam tuduhan seperti tuduhan komunis dan anti-agama selalu disematkan atas mereka.
Ini adalah cara pandang yang sifatnya “reduksionis”. Berupaya menghilangkan keragaman dengan basis menghilangkan peran-kontribusi etnis Tionghoa di negeri ini. Padahal, mereka sangat berperan dalam perjuangan bangsa dan berperan dalam membangun Islamisasi tanah Jawa. Mereka adalah bagian dari warna keragaman Indonesia yang ingin dihilangkan.
Pada tahun 1474. Seorang peranakan etnis Tionghoa yang bernama (Jin Bun) atau yang kita kenal Raden Patah datang ke Jawa untuk “membabat nilai keislaman”. Jin Bun atau Raden Patah merupakan keturunan dari sang Ayah Prabu Brawijaya V Kertabhumi-Majapahit yang menikah dengan Ibu Putri.
Jin Bun atau Raden Patah datang ke Jawa memiliki misi tentang dakwah Islam. Mencoba mendirikan kerjaan Islam yang kita kenal Kerajaan Demak. Ini sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Kesuksesan ini tidak terlepas dari bantuan para Wali Songo yang juga banyak di antara mereka berasal dari peranakan Tionghoa/Campa.
Sebagai kerjaan Islam pertama, Demak tidak hanya berhenti di dalam penguasaan Jin Bun/Raden Patah yaitu dari tahun 1478-1518 itu. Sebab, para raja sesudahnya yang ber-etnis Tionghoa seperti Adipati Unus/Yat Sun antara 1518-1521. Beralih ke Trenggana, antara 1521-1546. Hingga Sunan Prawata/Muk Ming pada 1546 dan ini menjadi bukti peran etnis Tionghoa dalam pembentukan Islam di Jawa.
Bukti sejarah yang semacam ini banyak disampaikan oleh para antropologi sejarah yang kokoh pada satu kesadaran penting. Bahwa, keterbukaan mereka atas peran etnis Tionghoa atas bangsa ini dan penyebaran nilai Islam secara khusus menjadi bukti penting. Mereka adalah bagian dari keragaman Indonesia yang sebetulnya ingin dihilangkan.
Bahkan, sebagian besar para Wali Songo itu terlahir dari peranakan etnis Tionghoa yang saat ini dianggap anti-agama dan penyebar ajaran komunis. Seperti Sunan Ampel Surabaya atau Bong Swi (Raden Rahmat) dalam perannya membentuk masyarakat Islam Jawa dan ini menjadi satu paradigma penting atas realitas Islam-lokal mencirikan keindonesiaan.
Begitu juga Sunan Giri yang juga murid dari Sunan Ampel. Dia adalah bagian dari keturunan etnis Tionghoa. Begitu juga Toh A Bo yang kita kenal Sunan Gunung Jati yang merupakan anak dari SultanTrenggana sang Panglima Demak. Juga kita kenal dengan Raden Said (Sunan Kalijaga) yang dalam nama Tinghoa Gan Si Cang.
Lantas, bagaimana dengan sebuah anggapan bahwa sebagian besar Para Wali Songo berasal dari Arab di Nusantara/Jawa secara khusus. Hal ini banyak para Antropologi sejarah seperti Prof Sumanto Al-Qurtuby menyebutkan bahwa peran masyarakat Arab dalam membangun ajaran Islam di Nusantara baru memiliki daya paradigmatis secara determinan dalam waktu yang baru yaitu sekitar akhir abad 18.
Kokohnya fakta sejarah yang semacam ini tidak berdasar ke dalam kepentingan politik identitas apa-pun. Melainkan sebagai kesadaran untuk (membuka ruang) (afirmasi/pengakuan) bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari kita Indonesia yang beragama. Ini adalah cara kita menghapus berbagai macam upaya untuk menutup pintu melalui diskriminasi dan gerakan anti-Tionghoa di Indonesia.
Jalan diskriminasi atas identitas tertentu merupakan faktor penting hancurnya bangsa ini. Sebab, salah satu jalan untuk merobek Indonesia yang kokoh adalah dengan merobek keragaman di dalamnya. Maka, di momentum perayaan Tahun Baru Imlek ini, fakta sejarah di atas adalah sebagai satu spirit penting dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia.