Perdamaian dunia dalam perspektif konstitusi Indonesia menjadi harga mati. Indonesia bertekad dan diamanahi konstitusi untuk terus pro aktif dalam mewujudkannya. Modal kuat dimiliki bangsa ini sebagai bahan kontribusi bersinergi bersama gerakan global. Modal tersebut adalah kearifan budaya nusantara yang beraneka dan semuanya membawa substansi misi damai. Selain itu beberapa bukti dapat disebarkan ke level global terkait kesuksesan mendamaikan beberapa konflik di negeri ini.
Bangsa ini mesti percaya diri dan serius dalam melakukan globalisasi kearifan budaya damai nusantara. Dunia pun sudah mulai melirik dan belajar dari khasanah nusantara. Kebhinnekaan Indonesia menjadi media penting dalam menularkan strategi perdamaian. Pemerintah penting memfasilitasi upaya ini sebagai bentuk tanggung jawabnya melakukan kewajiban konstitusi turut berperan mewujudkan perdamaian dunia.
Hampir semua entitas budaya di nusantara mengajarkan nilai perdamaian yang aplikatif. Budaya Jawa misalnya sangat menekankan terciptanya harmoni sosial. Harmoni tersebut terefleksi dalam citra hubungan sosial yang ideal, yaitu guyub rukun. Masyarakat yang guyub rukun ditandai dengan hubungan sosial yang erat dan akrab dengan suasana yang damai atau tanpa konflik (Fanani, 2011).
Nilai-nilai budaya damai Jawa juga dibuktikan dalam ungkapan-ungkapan. Ungkapan ini menjadi pijakan bertindak dalam hidup keseharian. Ungkapan pertama adalah jembar segarane atau orang yang pemaaf. Ungkapan ini mengandung pujian bagi orang-orang yang bersedia memaafkan kesalahan orang lain. Belum lama ini terciptan rekonsiliasi atau saling memaafkan antara pelaku dan korban atau keluargan korban terorisme yang diinisiasi BNPT. Hal ini disinyalir menjadi salah satu terobosan deradikalisasi. Inilah bukti implementasi jembar segarane .
Ungkapan kedua adalah menang tanpa ngasorake. Ungkapan ini dikenalkan oleh Panembahan Senopati atau Raja Mataram I. Artinya adalah memenangkan sesuatu tanpa mempermalukan pihak lawan. Ungkapan ini menunjukkan adanya prinsip hormat dan rukun bahkan dalam suasana perang sekalipun.
Selanjutnya adalah ungkapan rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Artinya rukun membuatsentausa, bertengkar membawa perpecahan). Ungkapan tersebut mengajarkan pentingnya rukun dalam masyarakat.
Yen ono rembug, yo dirembug juga menjadi ungkapan kedamaian. Artinya, kalau ada persoalan, sebaiknya dibicarakan. Ungkapan ini menegaskan urgensi dialog dan negosiasi dalam menyelesaikan masalah atau konflik.
Budaya dayak juga kental memberikan nilai perdamaian. Misalnya mekanisme pamabakng yaitu upaya penyelesaian masalah dengan menyerahkannya pada Tuhan melalui ritual adat. Ada juga nilai bahaump, yaitu musyawarah. Selain itu juga memiliki kata yang mempersatukan setiap suku yang ada,Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata,”.Artinyabahwa dalam hidup ini harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif, terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Herdian, 2017).
Selanjutnya budaya Bugis memiliki kearifan damai dalam ”Siri Na Pacce”. Internalisasinilai-nilai budaya ”Siri Na Pacce”akan menempatkan pribadi-pribadi menjadi manusia yang unggul, utuh, dan tidak terpecah-pecah. Sebab, budaya”Siri Na Pacce”mengandung nilai-nilai yang universal yang mengajarkan seseorang menghargai hakikat penciptaannya, mengajarkan seseorang peduli terhadap kesulitan hidup sesama manusia, tolong menolong dan lain-lain (Aifin, 2011).
Pepatah-pepatah adat Minang pun sarat kearifan berkedamaian. Salah satunya dalam ungkapan Bumi “Sanang Padi Manjadi, Taranak Bakambang biak”. Ungkapan ini mendambakan masyarakat yang aman damai makmur ceria dan berkah. Dengan adanya kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan kekerabatan, barulah mungkin diupayakan kehidupan yang lebih makmur (Rizal, 2014).
Gelaran nilai di atas barulan secuil dari fakta yang dimiliki budaya nusantara. Hal ini mengungat Indonesia memiliki ribuan suku dan masing-masing memiliki banyak nilai budaya.
Strategi Globalisasi
Globalisasi selama ini identik dengan “baratisasi”. Wajar karena pelaku utamanya adalah Barat guna menghegemoni budaya global dalam kepentingan ekonominya. Alhasil, hampir semua sektor memiliki kiblat barat jika ingin dikatakan modern.
Indonesia sebagai bangsa besar dan kaya budaya layak menjadi produsen budaya global. Globalisasi kearifan budaya nusantara bukanlah ilusi yang tidak mungkin terjadi. Salah satunya dalam hal upaya mewujudkan perdamaian dunia.
Ungkapan atau nilai-nilai di atas dapat diinternasionalisasi dan disinergikan dengan budaya lain di seluruh belahan dunia ini. Kuncinya adalah dialog dan gerakan bersama antar budaya. Bangsa ini mesti berinisiatif dan menjadikan budaya nusantara menjadi kiblat dunia.
Keberhasilan meredam konflik local dapat ditularkan. Misalnya dalam konflik Poso, Aceh, bumi Dayak, Lampung, dan lainnya. Budaya nusantara mesti mampu berdialektika dalam tataran global. Tidak ada salahnya dan mesti terbuka bahwa budaya kita juga dapat belajar dari budaya lain. Keangkuhan dan kesombongan mesti dijauhkan karena memang itu bukan budaya nusantara.