Kebaktian di Masjid Nabi

Kebaktian di Masjid Nabi

- in Keagamaan
2119
0

Tanpa kekerasan, itulah teladan Muhammad Saw dalam menyampaikan kebenaran ajarannya. Aneka dialog dan surat-menyurat yang dialamatkan pada umat non-Muslim, baik Yahudi, Nashrani maupun Musyrikin, seringkali dilakukannya. Keluhuran dakwah ini semestinya diteladani oleh umatnya kini.

Diantara surat dakwah Muhammad Saw misalnya, dikirimkan pada Nashrani Najran. Najran adalah daerah yang kini terletak di selatan Saudi Arabia, dekat perbatasan Yaman. Merespon surat ini, 60 orang Nashrani Najran datang ke Madinah untuk menemui Muhammad.

Empat belas orang di antaranya, dikenal sebagai tokohnya. Dan tiga orang menjadi pemimpinnya; ‘Abd al-Masih, al-Aiham dan Abu al-Haritsah bin ‘Alqamah. Tiga orang ini memiliki tugas masing-masing secara profesional.

‘Abd al-Masih adalah pemimpin tertinggi mereka yang bergelar al-‘Aqib. Al-Aiham adalah pemimpin bagian urusan perjalanan, yang digelari al-Sayyid. Dan Abu al-Haritsah adalah seorang uskup dan ahli agama mereka.

Mengenakan jubah katun bercorak lorek buatan Yaman, ditambah selendang katun bersulam sutra, mereka sowan menghadap Muhammad Saw. Kala itu Putera Abdullah dan Aminah ini beserta para shahabatnya sedang berada di masjid, hendak menunaikan shalat Ashar.

Tanpa minta izin pada tuan rumah, mereka bermaksud menjalankan sembahyang (kebaktian) menghadap ke Timur. Melihat peristiwa ini, para sahabat kaget. Mereka hendak mencegahnya, namun Muhammad minta mereka membiarkannya. Mereka pun selesai menjalankan kebaktian dengan purna di tempat ibadah kaum muslim itu.

Usai kebaktikan, mereka menemui Muhammad. Awalnya beliau memalingkan wajahnya, yang membuat rombongan tamu ini bingung. Mereka lalu minta pandangan ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf dan ‘Usman bin ‘Affan, dua orang yang sudah lama dikenal saat keduanya berniaga di Najran pada masa jahiliah.

Hasil rembugan itu, ‘Usman meminta pandangan Ali bin Abi Thalib, seorang pemuda cerdas yang memiliki banyak pengetahuan dan kedekatan dengan Muhammad. Ali menyarankan supaya mereka melepas pakaian kebesaran dan menanggalkan cincin-cincin emasnya. Hendaknya mereka berpakaian biasa seperti dalam perjalanan. Muhammad ingin semua tampil dalam pakaian kesehariannya, bukan sebagai tokoh-tokoh yang menampakkan primordialitasnya. Dan benar saja, Muhammad lalu menerima mereka dengan senang hati.

Terjadilah dialog yang hangat di antara mereka, di antaranya tentang Tuhan, salib, Isa, juga Maryam. Muhammad menyampaikan kebenaran versinya, sesuai mandat kerasulannya. Bukti-bukti kebenaran ditunjukkannya. Tak lupa, ajakan normatif pada mereka untuk memeluk Islam juga dilontarkan. Tentu saja dengan kesantunan, tanpa pemaksaan apalagi intimidasi.

Sebagai umat yang telah meyakini kebenarannya, mereka memiliki argumennya sendiri. Ajakan-ajakan Muhammad, karenanya, tidak diterimanya. Keyakinan dan ritual peribadahan yang telah dijalaninya dalam waktu lama, tentu saja tidak mudah berubah dalam waktu singkat. Akhirnya masing-masing tetap dalam anutan keyakinannya.

Kisah menarik ini dikutip oleh Ali Musfaya Yaqub, dalam Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, dinukil dari al-Thabaqat al-Kubra karya Muhammad bin Sa’ad, Azbab al-Nuzul karya Ali bin Ahmad al-Wahidi dan Zad al-Ma’ad karya Ibn Qayyim al-Jauziah.

Makna apa yang bisa dipetik dari peristiwa penting ini? Pertama, Muhammad dan umat Nashrani saling bertemu untuk menggelar dialog tentang kebenaran, setelah dilakukan surat-menyurat terlebih dahulu. Tujuannya tentu saja guna mencari titik temu atau kalimah sawa. Namun karena keyakinan itu persoalan yang sangat pribadi, maka titik temu itu tidak didapatkan. Dan karenanya, masing-masing tetap menghargai itu, kendatipun tidak sesuai asa hatinya.

Kedua, sikap saling menghormati dalam pertamuan/bertamu semestinya dikedepankan, termasuk menghormati Muhammad yang kebetulan sebagai tuan rumah. Di antara caranya adalah mereka menanggalkan baju dan cincin karena tuan rumah tidak menghendakinya. Sebaliknya, kaum muslim yang sowan ke umat Nashrani semestinya juga mengikuti aturan mereka, jika tuan rumah menghendaki.

Ketiga, sebaliknya, dan ini yang menarik, Muhammad sebagai tuan rumah juga menghormati para tamunya yang bermaksud menjalankan kebaktian di masjidnya. Kerasulan dan kerahmatan Muhammad melarangnya untuk menghalang-halangi umat lain yang hendak menunaikan ibadahnya. Inilah kerahmatan ajarannya.

Bumi itu tempat suci bagi semua umat beragama. Di manapun mereka hendak beribadah, maka itu bisa dilakukan. Bahkan dalam riwayat, ‘Umar bin al-Khaththab –Khalifah Islam kedua– pernah shalat di altar Gereja saat pembebasan Palestina di zaman pemerintahannya. Namun hendaknya, hal ini tidak lantas meleburkan identitas agama masing-masing dengan menghilangkan kekhasan tempat-tempat beribadahnya.

Facebook Comments