Aksi tindakan bom bunuh diri dan arogansi berlabel Islam ini sebetulnya bukanlah ciri khas wajah Islam Indonesia, yang telah lama hidup dan mengakar di bumi pertiwi. Karena wajah Islam yang penuh kezhaliman, kebencian dan kemungkaran semacam itu murni “virus dari luar” yang memengaruhi cara berislam masyarakat Indonesia.
Karena bentang perjalanan Islam Indonesia, sejatinya mengikrarkan wajah Islam yang terbuka, mampu membangun dialogis kultural, tidak saling mengganggu, saling menghormati dan anti-konflik. Karena mereka “mengikat” pada prinsip etis kebudayaannya yang diwariskan para leluhur.
Di sinilah hikayat Islam Indonesia benar-benar mentransformasikan nilai keagamaan yang etis dan subtantif. Bukan hanya simbol-simbol keagamaan yang ditarik ke dalam misi politik. Lalu diteriakkan ke mana-mana untuk menghalalkan nyawa orang lain dan mudah berbuat kezhaliman.
Tentu, kita harus memahami antara hakikat esensial agama dalam konteks (ajaran) di satu sisi. Dengan situasi sosial-kebudayaan dalam konteks (penyebaran) di sisi lain. Misalnya, situasi sosial-kebudayaan yang ada di Arab pada masa Nabi, sahabat dan seterusnya itu jauh berbeda dengan situasi sosial-kebudayaan yang ada di negeri ini.
Di sinilah kadang-kala juga memengaruhi penyebaran Islam baik secara metode mau-pun karakteristik yang dibangun. Karena Islam bukanlah agama yang penuh kekerasan. Apalagi berbuat kezhaliman tanpa memahami bagaimana konteks sosial-kebudayaan yang berkembang pada saat itu dan bersamaan dengan proses Islamisasi.
Dinamika semacam ini membuat kita salah mengambil pemahaman bahwa konteks peperangan, pembunuhan dan perselisihan antar non-muslim di era Nabi, Sahabat dan seterusnya itu dianggap “ciri khas Islam”. Lalu melakukan tindakan yang semacam itu pula. Tidak paham bahwa itu murni sebagai “dinamika penyebaran Islam” bukan sebagai ciri khas dari ajaran Islam itu sendiri.
Di sinilah kita perlu memahami bagaimana kontes situasi sosial-kebudayaan bumi pertiwi ketika Islam masuk. Bagaimana kebudayaan dan situasi sosial pada saat itu memang banyak dipengaruhi oleh dasar kebijaksanaan Hindu-Budha yang lebih egalitarian dan alergi kekerasan. Di sini Islam disebarkan dengan wajah yang persis sama dengan kebudayaan dan situasi sosial masyarakat yang egalitarian dan alergi kekerasan.
Sehingga, wajah Islam yang ada di Indonesia ini jauh lebih ramah, berbaur dengan budaya yang ada serta membangun semacam penyebaran nilai Islam tanpa pembantaian, kebiadaban dan kezhaliman. Islam bisa diterima dengan baik dan hidup dalam siklus keterbukaan dan kemapanan sosial tanpa ada pertumpahan darah.
Karena secara historis, Islam masuk ke Indonesia tanpa pertumpahan darah dan bahkan tidak ada semacam praktik-praktik kezhaliman layaknya bom bunuh diri. Karena para Wali Songo mampu menyebar-luas-kan nilai-nilai subtansial Islam-Nya. Bukan membawa kebudayaan-nya di mana Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang secara sosial-kultural beliau sebagai orang Arab.
Islam di Indonesia, mampu menghidupi kebudayaan atau sosial kultural yang telah lama mengakar agar diberi semacam “ruh” keislaman atau dalam istilah lain disebut sebagai proses Islamisasi kebudayaan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam itu dibiarkan sedangkan yang melanggar diluruskan. Bukan lantas dikafir-kafirkan dan melakukan tindakan kekerasan. Karena wajah Islam yang penuh dengan kekerasan dan kebiadaban yang semacam itu sejatinya murni bukan ciri khas keislaman yang ada di negeri ini.
Kita harus mengembalikan wajah Islam Indonesia. Di mana, secara substansi nilai, Islam diperas menjadi inti sari tatanan etis. Dengan tetap berpegang-teguh terhadap nilai-nilai sosial-kebudayaan yang terbuka, egalitarian, tidak suka ribut, tolerant, mampu membangun dialogis kultural serta kental dengan semangat kemapanan tanpa konflik. Karena Islam hidup di negeri ini sebagai nilai dan diperkuat oleh budaya masyarakat yang semacam itu. Sehingga, wajah Islam benar-benar terbentang sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.