Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

- in Narasi
4
0
Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Di tengah rumah yang runtuh, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan tangis pengungsian yang belum reda, ruang digital sering menjadi medan perang baru: bukan melawan alam, melainkan melawan ujaran yang memecah belah. Bencana semestinya menjadi momentum solidaritas, empati, dan kebersamaan, tetapi dalam beberapa kasus justru dimanfaatkan untuk meniupkan sentimen identitas.

Ketika masyarakat sedang tertekan dan rentan, narasi perpecahan lebih mudah diserap dan dipercaya. Di sinilah bahaya itu mengintai, lebih sunyi dari gempa, namun mampu menghancurkan fondasi persaudaraan.

Media sosial dalam situasi bencana sering dipenuhi klaim yang bisa memecah belah. Misalnya, narasi Jawa vs non-Jawa, misalnya, disebarkan seolah negara hanya memperhatikan bencana yang terjadi di Pulau Jawa, sementara bencana di daerah lain disebut diabaikan. Klaim ini mudah menyala karena menyentuh perasaan paling dasar: rasa keadilan dan pengakuan.

Namun narasi ini lupa konteks bahwa intensitas pemberitaan sering dipengaruhi akses media, skalabilitas logistik, dan kesiapan respons daerah. Bukan soal siapa lebih penting, tetapi soal bagaimana negara bergerak berdasarkan kapasitas infrastruktur yang berbeda di tiap wilayah.

Narasi lain yang tidak kalah berbahaya adalah dikotomi bantuan kemanusiaan untuk Gaza dan kebutuhan bantuan dalam negeri, seolah masyarakat hanya mampu memilih satu empati. Diskursus ini sering dibumbui sentimen agama yang sengaja diperuncing.

Padahal empati bukan sumber daya terbatas seperti bahan bakar; manusia dapat bersedih atas Palestina sambil tetap membantu korban bencana di Sumatera, NTT, Kalimantan, atau daerah lain. Dikotomi semacam itu bukan hanya tidak logis secara moral, tetapi juga merusak kesadaran bahwa kemanusiaan tidak memiliki batas administratif.

Lebih ekstrem lagi, muncul narasi Sumatera sebaiknya memisahkan diri karena dianggap dianaktirikan. Narasi ini bukan sekadar wacana emosional; ia punya konsekuensi jangka panjang. Sekali sebuah identitas disadap untuk menuntut pemisahan, maka trauma kolektif bisa berubah menjadi tuntutan politik yang lebih terstruktur.

Padahal dalam penanganan bencana, yang dibutuhkan adalah sinergi lintas daerah, saling menguatkan, saling menolong. Ketika narasi pemisahan dibiarkan tumbuh, yang hilang bukan hanya kohesi sosial, tetapi juga kemampuan bangsa untuk bangkit dari luka bersama.

Mengapa narasi provokatif begitu mudah berkembang dalam situasi bencana? Pertama, karena masyarakat sedang berada pada ruang emosional yang rapuh. Ketidakpastian masa depan dan frustrasi akibat kehilangan membuat publik lebih mudah dipengaruhi.

Kedua, algoritma media sosial memperkuat konten yang paling memancing emosi, sehingga narasi provokatif mendapat panggung lebih luas dibanding informasi netral.

Ketiga, minimnya literasi digital menyebabkan masyarakat sulit membedakan fakta, opini emosional, dan propaganda yang sengaja diciptakan untuk memecah belah.

Karena itu, pencegahan harus dilakukan tidak hanya pada level identifikasi hoaks, tetapi juga pada penguatan ketahanan sosial. Ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan.

Pertama, masyarakat perlu memperkuat empati lintas wilayah tanpa mempertentangkannya. Membantu Aceh tidak berarti mengabaikan Lumajang; mendoakan Gaza tidak meniadakan kepedulian pada Sumatera Barat. Empati bersifat simultan, bukan kompetitif.

Kedua, literasi digital harus menjadi benteng utama. Ketika bencana terjadi, saluran informasi terpercaya perlu diutamakan. Pemerintah daerah, media mainstream, lembaga kemanusiaan, dan akademisi harus memperbanyak kanal informasi cepat dan valid untuk menekan ruang hoaks.

Ketiga, tokoh agama, pendidik, dan pemimpin komunitas memiliki peran strategis. Mereka dapat menenangkan situasi, mengajak masyarakat fokus pada pemulihan, dan menolak narasi yang mengandung sentimen SARA. Narasi alternatif harus disediakan: narasi kolaborasi, bukan kompetisi derita.

Keempat, ruang kolaborasi antarwilayah harus terus diperkuat. Saat Sulawesi membantu Sumatera, Jawa membantu Kalimantan, Papua membantu Jawa, identitas bangsa kembali dirajut bukan dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata. Kita melawan bencana dengan tangan yang saling menggenggam.

Bencana selalu menyisakan luka, tetapi propaganda memperdalamnya. Ketika narasi pecah belah dibiarkan hidup, kita bukan hanya gagal bangkit, tetapi membangun reruntuhan baru di atas reruntuhan lama. Bangsa ini pernah melewati masa-masa sulit—tsunami, gempa, letusan gunung api, konflik sosial—dan selalu kembali berdiri karena satu hal: persatuan.

Saat banjir melanda, gunung meletus, atau tanah berguncang, tugas kita bukan menegaskan siapa yang lebih menderita, melainkan siapa yang paling dulu menolong. Di tengah puing dan air mata, narasi damai harus lebih keras dari fitnah. Karena musuh utama saat bencana bukan hanya alam, tetapi retaknya rasa kita sebagai bangsa.

Facebook Comments