Judul asli tulisan ini adalah “Hidup Damai Tanpa Agama”, pernah saya utarakan pada awal tahun 2012, namun sepertinya belum banyak masyarakat yang memperhatikannya, di samping berpotensi melahirkan kontroversi, judul tulisan saya di atas tentu dapat menimbulkan reaksi yang berbeda-beda di tengah masyarakat; terheran-heran, bingung, bahkan jengkel. Namun kekhawatiran yang paling utama adalah munculnya pemahaman yang tidak komprehensif dan berpolemik akibat salah tanggap atas tulisan saya.
Sepintas kita berpikir, ada agama saja perilaku anarkis, kacau dan tidak damai masih banyak terjadi, apalagi kalau tidak ada agama? mungkin lebih kacau dan anarkis lagi. Tidak jarang kita saksikan orang-orang yang mengatasnamakan agama hanya untuk berlaku kasar, menampilkan diri laiknya malaikat pencabut nyawa yang boleh mengakhiri hidup siapa saja, seolah mereka itu ‘keponakan’ Tuhan yang segala tindak tanduknya tidak dapat disalahkan. Mereka menebar teror kebencian dan kekerasan terhadap perbedaan, baik perbedaan dalam satu komunitas agama (intra-religious) maupun perbedaan dalam antar komunitas agama (inter-religious).
Hal ini tentu memilukan, terlebih dengan mengaca pada fakta bahwa tidak sedikit warga negara di kawasan lain yang tetap dapat hidup secara damai meskipun mereka menganut agama yang berbeda-beda. Padahal, semua ajaran agama membawa nilai-nilai kasih sayang dan perdamaian, jika para penganut agama mampu menginternalisasikan nilai dan ajaran agama masing-masing dengan baik, maka sudah tentu kedamaian dan kesejahteraan akan tercipta. Apalagi dengan konteks Indonesia yang secara resmi mengakui 6 agama, negeri ini harusnya mampu menampilkan kedamaian yang enam kali lipat damainya di banding negara lain.
Judul “Hidup Damai Tanpa Agama” saya temukan saat melakukan perjalanan akademik dari Hamberg Jerman, menuju Amsterdam Belanda pada akhir tahun 2009. Saya bersama 5 orang dosen UIN Alauddin Makassar berkesempatan melakukan short course ke beberapa perguruan tinggi di Eropa. Dalam perjalanan tersebut, saya menjumpai seorang mahasiswa di kereta api eksekutif. Ia sedang sibuk membaca dan menikmati ide yang tertulis di dalam buku tebal miliknya, sementara kami sibuk berbincang. Saya lantas mendekatinya dan bertanya sambil menunjuk sebuah rumah ibadah gereja, ‘what is that‘, berharap dijawab dan menjadi pertanyaan pembuka dalam perkenalan kami.
Namun di luar dugaan, Ia menjawab pertanyaan saya dengan sebuah jawaban singkat yang membuyarkan pertanyaan saya yang kedua, ketiga dan selanjutnya, Ia hanya menjawab singkat “Sorry, I do not believe in God” (Maaf, Saya tidak percaya Tuhan). Kaget sambil terheran, saya kembali ke kursi semula dan bergabung kembai bersama teman lainnya untuk langsung menganalisa dan mendiskusikan potongan kalimat yang tidak dikenal di negara Indonesia.
Peristiwa tersebut selalu teringat terutama ketika menyaksikan aksi-aksi intoleran di dalam negeri yang dilakukan justru oleh orang-orang yang mengaku paling mengerti Tuhan dan agama. Mengapa masih terjadi prilaku anarkis dan ektremisme atasnama agama? saya tidak bermaksud membandingkan orang yang menganut agama, fokus saya adalah prilaku tidak agamis oleh orang-orang yang mengaku beragama dengan orang yang jelas-jelas tidak memiliki agama namun perilakunya justru sangat sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam semua agama.
Kalau saja pemuda yang saya temui di kereta tersebut menjawab pertanyaanya pertama saya tentang rumah ibadah, saya berencana bertanya tentang agama yang dia anut, namun urusan agama merupakan aspek yang sangat pribadi bagi mereka. Bisa-bisa ia balik bertanya, mengapa di negara anda masyarakatnya beragama semua tetapi tidak aman dan banyak teroris? Sangat mungkin dia akan menyatakan memang kami tidak percaya Tuhan, tetapi negara kami aman dan tetap damai, kami hidup damai tanpa agama.
Muhammad Abduh seorang ulama besar Mesir, menulis dalam majalah al-Manar sekembalinya dari perjalanan ke Eropa, ia menyatakan kurang lebih demikian, ‘saya tidak menjumpai banyak muslim di Eropa, namun saya menyaksikan banyak Islam, sebaliknya saya menyaksikan banyak Muslim di negara saya Mesir, tetapi aflikasi nilai-nilai Islam sangat langka’. Ekspresi Muhammad Abduh di atas rupanya banyak dialami pula oleh orang-orang yang pernah berkunjung ke negara-negara Eropa. Di sana tidak tidak banyak orang yang menganut agama Islam, bahkan tidak memilih satu agama pun sebagai pandangan hidup, namun nilai-nilai utama dari ajaran agama dapat tetap bersemi dalam kehidupan sehari-hari.
Bila semua agama membawa nilai kasih sayang dan kedamaian, maka demikian pula seharusnya seluruh penganut agama memahami dan mengamalkannya dalam kesehariannya. Karenanya Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi negara yang paling damai di dunia, di negara ini ada banyak agama yang bukan saja diakui oleh negerara, tetapi juga difasilitasi semua hak-haknya sebagai warga negara, sehingga menjadi contoh bersemainya nilai kasih sayang dan kedamaian di antara semua manusia. Tidak berlebihan juga karenanya jika pada hari akhir nanti Tuhan menjadikan negara Indonesia sebagai pusat ‘ibu kota’ surga, jika harus ada yang menjadi titik utama alam sorga.
Mencermati perjalanan panjang manusia dari alam yang satu ke alam berikutnya, saat ini kita telah berada pada ‘alam al-Syahadah‘ alam dunia, alam nyata. Satu persatu, setapak demi setapak, kita melangkah ke ‘alam al-Barzakh‘ yakni alam berkumpulnya semua makhluk ciptaan Tuhan setelah dibangkitkan dari kematian untuk selanjutnya menanti saat perhitungan atau ‘yaumul hisab‘. Sebelum berangkat dan sebelum terlambat, hidup beragama memiliki makna tuntunan untuk hidup yang lebih damai dengan semua makhluk ciptaan Tuhan, sejak hidup di dunia hingga kehidupan yang lebih kekal di akhirat nantinya.
Pada prinsipnya, dengan beragama hidup akan lebih tenang, damai, bahagia, dan teratur. Sebab dalam ajaran agama, semua penganutnya dituntun menuju jalan kedamaian dan kebahagiaan. Karenanya bukan agama yang menjadikan sebagian manusia berlaku anarkis, namun pemahaman dan interpretasi sempit atas ajaran agama yang menjadikan seseorang atau kelompok merasa paling benar. Pengakuan pendek pemuda di kereta yang tidak percaya pada Tuhan namun tampak menjalani hidup dengan damai selalu mengingatkan saya untuk tidak mencukupkan agama pada aspek ritualnya saja, tetapi juga pada aspek kehidupan sosial dan bernegara.
Semoga bermanfaat…