Media Perdamaian Berupa Mimbar Rumah Ibadah

Media Perdamaian Berupa Mimbar Rumah Ibadah

- in Narasi
1681
0
Media Perdamaian Berupa Mimbar Rumah Ibadah

Konflik antarumat beragama semakin lama semakin meruncing. Apalagi, tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama terjadi di mana-mana. Bukan hanya kekerasan lisan ataupun tulisan yang dilakukan namun juga fisik berupa pembunuhan dan perusakan fasilitas umum hingga rumah ibadah kerap kali terjadi di bumi ini. Celakanya, banyak dari pelaku radikal ini adalah orang-orang yang mengatasnamakan agama. Mereka membawa firman Tuhan sebagai dalih pembenaran atas tindak angkara murka yang dilakukan.

Abdurrahman Wahid, tulis Lubis (2017), mengemukakan bahwa konflik antarumat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan nonkeagamaan. Agama pada dasarnya dapat menjadi faktor keagamaan dan nonkeagamaan. Agama pada dasarnya dapat menjadi faktor integrasi dan juga disintegrasi. Faktor integrasi antara lain, bahwa agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib, dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal.

Di dalam agama Islam, tak kurang-kurang ayat al-Qur’an mengajarkan perdamaian bagi pemeluknya. Di antara firman yang menyebutkan hal ini adalah, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia.” (QS. an-Nisa [4]: 114).

Dalam hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah? Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Tak cukup dengan perkataan tersebut, namun Nabi Muhammad SAW juga menjadi teladan terbaik dalam memerangi pertikaian. Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad Ra bahwa penduduk Quba’ telah bertikai hingga saling lempar batu, lalu Nabi Muhammad SAW dikabarkan tentang peristiwa itu, maka beliau bersabda, “Mari kita pergi untuk mendamaikan mereka.” (HR. Bukhari).

Maka menjadi benar manakala M Fikri di dalam Konflik Agama dan Konstruksi New Media menuliskan bahwa munculnya konflik kekerasan demikian bukan karena ajaran agama, karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan perdamaian, tetapi justru karena adanya aktor, agamawan maupun individu beragama yang menafsirkan ajaran agama yang diyakininya secara sempit bahkan tendensius.

Celakanya, orang-orang yang menafsirkan ajaran agama secara sempit dan tendensius justru ada yang diberi wewenang untuk naik ke mimbar di dalam rumah ibadah guna menyampaikan khutbah keagamaan. Ia yang mestinya menyampaikan perdamaian sesamaan iman dan antar-iman justru memotivasi jamaah untuk melakukan perpecahan. Bahkan, yang selama ini sudah damai, melalui khutbah-khutbahnya, jamaah justru diadu domba.

Bermula dari sinilah, setiap umat mesti selektif dalam memilih khotib keagamaan. Lebih-lebih para pengurus rumah ibadah, jangan sampai memberikan kesempatan kepada orang-orang yang menyesatkan umat dengan dalih firman Tuhan yang ditafsirkan keliru. Jangan sampai mereka diberikan kesempatan naik ke mimbar dalam rangka menyampaikan khutbah-khutbah kelirunya. Karena, jika orang-orang ini diberi kesempatan untuk menyampaikan khutbahnya, maka umat akan terombang-ambing, bahkan seketika bisa berkonflik.

Terhadap para khatib, jangan sampai anda mengotori mimbar suci yang ada disetiap rumah ibadah dengan khutbah-khutbah kebencian. Jadikanlah mimbar yang suci sebagai media beribadah dengan cara menyampaikan firman-firman Tuhan sebagaimana yang dimaksudkan. Tuhan selalu mengajarkan akan keshalihan kepada-Nya serta sesama makluk.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments