Melihat Potensi 2024: Kebencian Terhadap Minoritas

Melihat Potensi 2024: Kebencian Terhadap Minoritas

- in Kebangsaan
1298
0
Melihat Potensi 2024: Kebencian Terhadap Minoritas

Isu minoritas telah menjadi diskursus global yang masih cukup santer menjadi perbincangan. Sayangnya perbincangan yang masih menjadi perhatian hingga kini adalah mengenai isu diskriminasi dan semacamnnya (Eisenberg et al., 2009; Long, Rahman, Razick, & Salleh, 2017; Ruane, 2006). Seolah senafas dengan situasi yang ada, Indonesia pun masih bergulat dengan persoalan tersebut. Pada 2022 saja, sejumlah isu yang bernada intoleransi masih mengalir dengan derasnya.

Dalam catatan akhir tahun, lembaga Imparsial mendapati bahwa setidaknya terdapat 26 kasus intoleransi terjadi di Indonesia. Lain lagi dengan catatan yang dikeluarkan oleh SETARA Institut, yang justru melihat jumlahan lebih banyak lagi. Dalam pengamatan Lembaga ini, per-2022 setidaknya terdapat 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ada 168 kasus yang pelakunya merupakan aktor negara dan sejumlah 165 lainnya dilakukan oleh aktor non-negara. Paparan data tersebut menunjukkan bagaimana negara kita masih belum mampu keluar dari jebakan pemikiran intoleran. Lebih jauh lagi, data tersebut semestinya dipahami sebagai simpul representasi atas perlakuan diskriminatif yang selama ini masih terjadi di banyak tempat lainnya, namun berjarak dari pengamatan.

Lebih-lebih lagi menjelang perhelatan pesta demokrasi 2024, di mana kerisauan jelas semakin mengemuka di benak semua kalangan. Beberapa bahkan membayangkan hal-hal yang pernah terjadi menjelang dan pasca 2019 akan Kembali terulang. Kerisauan tersebut bukan tanpa alasan, gelontoran informasi yang hadir dalam waktu yang cepat, menyulitkan bangsa ini untuk dapat melihatnya dengan jernih.

Persoalan semakin rumit tatkala persebarannya menyentuh aspek politik identitas. Penyebaran narasi intoleran dalam wujud pelintiran kebencian dan aksi-aksi tak pantas lainnya merupakan kepastian yang diperoleh tatkala kedua hal tersebut berkalin-kelindan. Belajar dari situasi pemilihan umum kepala daerah Jakarta 2017 dan Pemilihan umum 2019 lalu, narasi hoax yang hadir bukan hanya mencederai semangat demokrasi yang ada, namun juga menghadirkan benturan sosial yang besar terutama di level masyarakat.

Daring, Ceramah dan Publik

Ruang publik bernama dunia daring menjadi katalis dalam menghadirkan bentuk amplifikasi hal-hal demikian. Acap kali ruang ini menjadi arena yang digunakan dengan tujuan menyebarkan kebohongan, pembusukan karakter, pengintimidasian hingga persekusi. Dominan yang mendapatkan persekusi jelas adalah kelompok minoritas lagi. Meskipun sejumlah upaya telah digalang pemerintah bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat, namun sepertinya masih terlalu naif bila lompat untuk meyakini bahwa dunia daring kini mengalami perbaikan dan pemulihan. Wujud nyata-nya Nampak jelas salah satunya oleh adanya kemudahan menjumpai narasi ceramah dan seruan yang sengaja menyudutkan minoritas. Ini jelas potensial untuk kembali diinstrumentalisir menjelang pesta demokrasi 5 tahunan itu.

Pola resiprokal yang telah lama terbangun antara agama dan politik, membawa kita melihat bahwa relasinya jelas sangat beririsan dalam berbagai isu. Sudah barang tentu, di sini peran pemuka agama memainkan bagian yang fundamental dalam mempengaruhi perpolitikan atau pun pemberi legitimasi melalui sisi agama terhadap sebuah praktik politik tertentu. Hal demikian terbangun lantaran sejatinya sejak lama pemuka agama memiliki kapital besar dalam mempengaruhi dan menggiring opini publik.

Terlebih lagi pemuka agama yang memang menjadi pemegang doxa. Bagi Pierre Bourdeiu, Doxa diartikan sebagai sudut pandang penguasa atau yang dominan, yang di mana menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang semua orang atau universal (Bourdieu, 1994). Terlebih lagi bila opini yang ia keluarkan berlandaskan agama di mana janji surga dan neraka menjadi hadiah dan hukuman bagi yang mengikutinya dan yang menentang petunjuknya. Bayangkan saja bila argumen opini pemuka agama yang hadir kerap menyudutkan yang minoritas, maka potensial membuat kelompok mayoritas akan percaya.

Bak mendapat angin segar, realitas di atas memperoleh dukungan dari perkembangan konstelasi yang terjadi. Setidaknya ada dua fenomena yang mendukung hal tersebut, yang pertama adalah keinginan menghadirkan pemurnian agama. Yang kedua, banyaknya bermunculan pemuka agama dalam wilayah daring (Nasr 2009; Echaibi 2011; Kailani 2018), yang dalam banyak temuan ternyata beberapa di antaranya kerap menghadirkan seruan kebencian dan perpecahan.

Untuk pemurnian agama, Martin Van Bruinessen dalam bukunya berjudul “Rakyat Kecil, Islam dan Politik”, mengungkapkan bahwa beberapa kalangan dari masyarakat Islam di Indonesia, memiliki kecenderungan untuk menghadirkan pemurnian agama. Elemen masyarakat yang ia maksud tersebut menurutnya adalah kalangan yang baru berpindah agama menjadi Islam (Mu’allaf), kelompok yang baru berusaha menjalankan ajaran agama secara utuh dan yang ketiga adalah orang yang berasal dari keluarga yang sekuler atau abangan. Sementara untuk fenomena yang kedua dapat dilihat dari hadirnya ujaran dari pemuka agama dalam bentuk dakwahtainment yang kerap mendemonisasi kelompok minoritas hingga institusi negara. Tatkala tayangan-tayangan dari para pemuka agama tersebut yang keras tersebut menjadi konsumsi kelompok yang berupaya mengejar agenda pemurnian agama, maka potensial menggiring pada pemikiran yang melihat minoritas yang berbeda sebagai sebuah kesalahan dan wajib untuk diluruskan.

Melalui pemahaman di atas, mestinya pergeseran perspektif hadir ke ranah mempertanyakan bagaimana kondisi minoritas hari ini bila pencideraan terus-menerus hadir dalam skema yang demikian. Bila pertanyaan demikian sudah bisa mengemuka, maka Langkah advokasi berikutnya lebih mungkin hadir. Pada gilirannya pesta demokrasi 5 tahunan atau agenda apa pun bisa dirayakan dalam harmoni. Perlu diingat bersama bahwa, menjadi minoritas itu sebuah keniscayaan. Meskipun kita berada dalam komunitas yang seragam, tetap saja kemungkinan untuk menjadi minoritas itu tinggi, sebab sejatinya setiap kita itu berbeda.

Facebook Comments