Fenomena Banjir Informasi; Pentingnya Metode “Triple Filter Test” ala Socrates

Fenomena Banjir Informasi; Pentingnya Metode “Triple Filter Test” ala Socrates

- in Narasi
541
0
Fenomena Banjir Informasi; Pentingnya Metode “Triple Filter Test” ala Socrates

Perkembangan dunia digital yang ditandai dengan kian popupernya internet dan media sosial telah melatari munculnya fenomena banjir informasi (information overload). Banjir informasi adalah sebuah fenomena ketika individu atau masyarakat terlalu banyak mengkonsumsi berita atau informasi dalam satu waktu. Jika di era analog, kita lah yang mencari informasi, misalnya dengan membaca surat kabar, menonton tv, mendengar radio, dan sejenisnya, maka hari ini informasi justru mendatangi kita dari segala arah.

Saban kali membuka internet atau media sosial, kita dihadapkan pada belantara informasi. Fenomena ini mirip pedang bermata dua. Di satu sisi, publik dimudahkan untuk mendapatkan informasi yang berlimpah-ruah dan murah. Namun, di sisi yang lain, jika tidak dikelola dengan baik, banjir informasi ini bisa menimbulkan segregasi bahkan polarisasi.

Salah satu residu fenomena banjir informasi ialah maraknya berita bohong (hoax). Dalam Kamus Oxford Dictionary, hoax diartikan sebagai suatu bentuk penipuan yang tujuannya untuk menimbulkan kelucuan atau membawa bahaya. Menurut Kamus Bahasa Inggris, hoax dimaknai sebagai olok-olok. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax bermakna berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta.

Walsh (2006) dalam bukunya Sins Againts Science, The Scientific Media Hoaxes of Poee, Twain, and Others menyebut bahwa fenomena berita palsu sudah ada sejak dekade 1800an. Dalam konteks Indonesia, hoaks yang paling banyak beredar menurut data Kemenkominfo adalah terkait isu agama dan politik. Inilah yang mengkhatirkan sebab berita palsu yang bernuansa SARA dan politik dapat menimbulkan perpecahan bahkan konflik horisontal.

Puncak Pengetahuan (Knowledge) Ialah Kebijaksanaan (Wisdom)

Dalam tradisi filsafat diyakini bahwa manusia itu makhluk yang haus informasi. Manusia dibekali insting untuk ingin tahu dan rasa penasaran yang besar. Bahkan, bisa dibilang rasa ingin tahu itulah yang membedakan manusia dengan hewan. Rasa ingin tahu itu pula yang membimbing manusia dalam membangun peradaban hingga seperti sekarang. Kemunculan filsafat juga dilatari oleh rasa ingin tahu manusia.

Meski demikian di dalam tradisi Filsafat, pengetahuan itu bukan sesuatu yang bebas nilai (value free). Maksudnya, pengetahuan selalu punya maksud dan tujuan. Dan, di dalam filsafat, tujuan tertinggi dari pengetahuan ialah kebijaksanaan (wisdom). Jadi, muara pengetahuan itu pada dasarnya ialah kebijaksaan. Kian banyak informasi diserap, idealnya kian bijaksana pula ucapan, pemikiran, dan perilakunya.

Dalam konteks inilah, Socrates yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Yunani memperkenalkan metode penyaringan informasi yang populer disebut “Triple Test Filter”. Menurut Socrates, informasi atau pengetahuan yang akan menuntun manusia pada kebijaksanaan itu harus lolos tiga tahapan verifikasi.

Tiga Tahap Menyaring Informasi ala Socrates

Tahapan pertama adalah informasi itu harus benar dalam artian faktual dan valid, bersumber dari otoritas yang jelas, dan tidak bercampur dengan opini, asumsi, apalagi spekulasi. Kebenaran informasi didapat melalui metode verifikasi yang ketat bahkan melalui pengujian ilmiah yang prosesnya panjang dan bersifat universal. Misalnya, pengetahuan bahwa air mendidih dalam suhu 100 derajat celcius tidak lahir dari asumsi apalagi spekulasi. Melainkan sudah melalui tahap uji ilmiah dan berlaku universal. Kebenaran yang demikian ini sudah final dan tidak bisa direvisi kecuali ada temuan ilmiah baru. Inilah yang disebut Socrates sebagai the filter of truth alias saringan kebenaran.

Kedua, informasi atau pengetahuan itu harus baik. Artinya, selain mengandung kebenaran, informasi yang menuntun pada kebijaksanaan juga harus memiliki dimensi kebaikan. Dimensi kebaikan disini ditentukan oleh aturan atau norma yang berlaku di masyarakat. Meski sebuah pengetahuan itu benar, namun jika bertentangan dengan nilai budaya, norma, etika, dan hukum yang berlaku di masyarakat, maka informasi atau pengetahuan itu pada dasarnya tidak ada nilainya.

Misalnya saja, pengetahuan tentang tanaman ganja yang diklaim bisa mengobati beragam penyakit. Dalam konteks masyarakat yang meyakini bahwa penggunaan ganja adalah melanggar norma dan hukum, pengetahuan tersebut tidak ada nilainya sama sekali. Meski benar secara ilmiah, namun dalam konteks sosio-kultural pengetahuan itu tidak bernilai. Socrates mengistilahkan prinsip ini sebagai the filter of goodness.

Ketiga, selain benar, dan baik, sebuah informasi atau pengetahuan juga harus memiliki sisi kebermanfaatan, baik terhadap individu maupun kelompok. Sebuah informasi atawa pengetahuan yang baik dan benar, tidak selalu memiliki sisi kebermanfaatan terhadap masyarakat. Sebagai contoh, informasi yang tertera dalam produk-produk elektronik dimana sebagian besar masyarakat sebenarnya tidak membutuhkannya.

Informasi yang tertera dalam produk elektronik itu benar dan baik, namun karena masyarakat umumnya sudah paham bagaimana cara memakai dan merawat produk yang dibelinya, maka informasi itu akhrinya tidak berguna dan hanya sekadar formalitas. Socrates mengistilahkan prinsip ini sebagai the filter of usefulness.

Metode Triple Filter Test ala Socrates ini kiranya relevan diterapkan dalam konteks masyarakat Indonesia hari ini yang tengah dilanda fenomena banjir informasi. Di tengah ledakan informasi dari segala arah, kita perlu menyeleksi informasi dan pengetahuan seperti apa yang akan kita konsumsi. Dalam bahasa lain, kita perlu melakukan diet informasi dan hanya mengonsumsi informasi yang benar-benar dibutuhkan, bernutrisi, dan menyehatkan.

Facebook Comments