Melindungi Perempuan, Anak dan Remaja dari Ideologi Kekerasan

Melindungi Perempuan, Anak dan Remaja dari Ideologi Kekerasan

- in Narasi
37
0
Melindungi Perempuan, Anak dan Remaja dari Ideologi Kekerasan

Kelompok masyarakat paling rentan terhadap pengaruh radikalisme atau ideologi kekerasan tidak lain adalah perempuan, anak dan generasi muda. Mereka menjadi objek bidikan utama kelompok radikal sebab lebih mudah dipengaruhi dan digerakkan sebagai martir aksi-aksi terorisme. Lebih dari itu, bahkan mendoktrin yang mempengaruhi keluarga dan orang lain.

Tahun 2019 pelaku bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Medan, Sumatera Utara, diduga kuat akibat terpengaruh ideologi ekstrem dari istrinya sendiri. Perempuan yang biasanya hanya taat kepada suami tidak berlaku di zona ideologi kekerasan, bahkan sampai minta cerai karena suami yang tidak mengikuti ideologi ekstrem tersebut mendapat cap murtad.

Berdasarkan pengalaman, sejak Mei 2018 hingga November 2019, sedikitnya ada lima aksi teror bom yang melibatkan kaum hawa. Di tahun 2018, Puji Kuswati bersama suami dan dua anaknya melakukan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Sari Puspitarini terlibat dalam teror bom di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo Jawa Timur dan Tri Ernawati beserta suami dan dua anaknya melakukan aksi bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya.

Tahun 2019 kita disuguhi tragedi tewasnya Solimah dan dua anaknya karena aksi bom bunuh diri. Selain sebagai pelaku, ia juga meradikalisasi suami dan keluarga, serta menjadi aktor utama yang merencanakan aksi bom bunuh di Bali.

Berbagai peristiwa teror tersebut membuktikan perempuan dan anak menjadi kelompok paling rentan terpapar paham radikal. Yang dulunya tidak pernah terjadi peristiwa seperti itu, tapi kini dan di masa-masa mendatang menjadi batu uji serius bagi bangsa ini. Demikianlah, perkembangan radikalisme di Indonesia terjadi dalam bentuk dan varian yang berbeda.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah generasi milenial atau secara umum disebut generasi muda. Perkembangan tren beragama pada kelompok ini rentan dipolitisasi, terutama pada mereka yang tidak memahami agama secara mendalam. Dipolitisasi maksudnya adalah mereka diperkenalkan dengan cara beragama yang eksklusif sehingga terbentuk menjadi pribadi yang anti perbedaan.

Kelompok radikalis mengkonstruksi pola pikir keberagamaan anak-anak muda dengan cara pandang dan interpretasi ajaran-ajaran agama sesuai keinginan dan tujuan ideologi kekerasan. Mereka mendoktrin generasi muda dengan kebenaran tunggal, dan pandangan keagamaan kelompok yang lain yang tidak sesuai dengan pandangan mereka akan ditolak, bahkan dilawan dengan cara kekerasan sekalipun.

Pemahaman demikian dengan sendirinya menumbuhkan keinginan untuk membasmi kelompok agama atau bahkan penganut madhab yang berbeda. Senjata pamungkasnya, seperti penegakan khilafah, kemudian menjadi doktrin ampuh mengelabuhi para anak muda. Terjadinya kekerasan terorisme tak terelakkan lagi.

Menyadarkan Perempuan, Anak dan Generasi Muda Akan Bahaya Paham Radikalisme

Fenomena rentannya perempuan, anak dan generasi oleh paham atau ideologi kekerasan merupakan kondisi darurat yang segera harus dicarikan penangkal. Hal ini tentu bukan perkara sepele, karena mereka yang telah terpapar paham radikalisme tidak menyadari risiko dari paham yang dianutnya.

Mulanya mereka diajari paham keagamaan yang begitu indah dan memang ajaran Islam yang benar. Shalat berjamaah, pentingnya belajar ilmu agama, meneladani Rasulullah dan seterusnya. Namun, perlahan tapi pasti berubah menjadi ajakan jihad dengan narasi amar makruf nahi munkar.

Disini tipu muslihat dengan kedok agama itu terjadi. Sebab pada posisi ini mereka dibimbing menjadi muslim yang anti keberagaman. Mereka mulai didoktrin untuk menyatukan satu visi dan misi perlawanan terhadap konsep agama yang berbeda, termasuk melakukan perlawanan terhadap demokrasi dan toleransi. Kemudian, “Khilafah” menjadi jualan mereka.

Telah menjadi fakta tak terbantahkan, saat ini keterpaparan anak, perempuan dan generasi muda terbilang cukup tinggi. Data Indonesia Knowledge Hub (I-KHub) BNPT tahun 2023, menunjukkan perempuan, anak dan generasi muda menjadi sasaran utama dan terbanyak sebagai target radikalisasi, daring maupun luring.

Oleh karenanya, kelompok rentan ini harus segera disadarkan dari “nihilnya kesadaran” akan realitas keberagaman iman yang memang ditakdirkan seperti itu oleh Allah dan realitas kemajemukan (pluralitas) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penguatan akidah seperti ini disertai pemahaman tentang ajaran agama yang syamil dan sempurna menjadikan seseorang tidak mudah terpapar ideologi hitam radikalisme. Sehingga, pembacaan yang salah terhadap konsep “jihad dan kafir” seperti pemahaman kelompok radikal tidak lagi terjadi.

Solusinya? Kita harus menyediakan ruang bagi perempuan, anak dan generasi muda berupa lingkungan keagamaan yang kondusif dan suportif untuk memberikan kedamaian bagi mereka. Nuansa keberagamaan yang meyakini agama yang dianut sebagai paling benar, namun juga tidak menyalahkan kelompok lain yang berbeda keyakinan dan madhab.

Di dunia seperti media sosial, tokoh-tokoh moderat seperti ulama-ulama NU harus melawan, atau paling tidak mengimbangi dengan memberikan akses informasi keagamaan yang beraliran moderat. Sebab perkembangan ideologi kekerasan memberikan daya tawar tersendiri dengan informasi atau ajaran keagamaan yang instan. Masyarakat Indonesia kebanyakan lebih tertarik belajar agama secara instan tersebut. Hal ini yang mempercepat proses radikalisasi, sulit dideteksi dan ditahan.

Maka, ormas-ormas Islam berwawasan moderat yang ada di Indonesia harus memberikan perhatian khusus kepada kelompok rentan terpapar paham radikal, yakni perempuan, anak dan generasi muda. Sebab telah banyak penelitian yang menemukan mereka merupakan target utama sel atau kelompok radikal.

Facebook Comments