Profesor dan Direktur Studi Intelijen dan Keamanan Nasional di University of South Florida, Randy Borum, Psy.D, dalam jurnal berjudul Radicalization into Violent Extremism I: A Review of Social Science Theories, mengulas berbagai teori dari ilmu sosial yang menjelaskan bagaimana individu atau kelompok dapat terjerumus ke dalam ekstremisme kekerasan.
Teori Sosial Identitas (Social Identity Theory) menjadi pembuka dari jurnal yang diterbitkan Journal of Strategic Security ini, dalam terori ini dijelaskan mengenai pentingnya identitas kelompok dalam proses radikalisasi. Individu yang merasa teralienasi atau terpinggirkan dalam masyarakat mungkin mencari identitas baru dalam kelompok ekstremis yang menawarkan rasa memiliki dan tujuan bersama. Kelompok ini sering kali memperkuat perasaan “kami” versus “mereka,” yang dapat memicu kebencian dan konflik.
Berikutnya, Teori Frustrasi-Aggresi (Frustration-Aggression Theory), teori ini berargumen bahwa radikalisasi dapat terjadi ketika individu mengalami frustrasi yang besar akibat ketidakadilan sosial atau ketimpangan politik. Frustrasi tersebut dapat menimbulkan perasaan marah yang diarahkan pada pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kondisi tersebut, seperti penegak hukum, pemerintah, hingga kelompok atau suku yang berada di Seberang ketimpangan mereka.
Borum juga menyajikan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory), teori ini menjelaskan bahwa radikalisasi terjadi melalui proses pembelajaran dari individu lain yang sudah terlibat dalam ekstremisme. Proses ini mencakup pengamatan, imitasi, dan penguatan dari perilaku ekstremis yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh besar terhadap individu tersebut, seperti teman, keluarga, tokoh masyarakat atau tokoh agama.
Terakhir, Borum menjelaskan Teori Keterpaduan (Cohesion Theory), teori ini mengusulkan bahwa individu yang merasa terisolasi atau terpinggirkan dari kelompok sosial yang lebih besar cenderung lebih rentan terhadap pengaruh kelompok ekstremis. Kelompok tersebut menawarkan rasa solidaritas dan tujuan yang lebih besar, yang membuat individu merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Melalui penjelasan Borum, dapat lebih mudah dipahami mengapa konflik yang terjadi jauh di belahan dunia lain dapat dengan mudah menyulut kemarahan yang memicu gerakan radikalisme di sebuah negara.
Di Indonesia, isu geopolitik seperti konflik antara Israel dan Iran kerap digunakan oleh kelompok intoleran dan radikal untuk menyebarkan narasi kebencian, permusuhan antaragama, dan untuk merekrut simpatisan melalui sentimen keagamaan. Narasi-narasi yang dibangun oleh kelompok ekstrem, baik dari sisi keagamaan maupun politik, sering kali menyederhanakan konflik menjadi pertarungan hitam-putih, sehingga menutup ruang untuk analisis yang jernih dan dialog yang konstruktif, apalagi mengaburkannya dengan pemahaman agama untuk memicu polarisasi sosial.
Upaya kelompok radikal menggaungkan sentimen agama yang terjadi dalam konflik seperti Israel vs Iran merupakan langkah pertama dalam tahapan radikalisasi, yaitu Radikalisasi Kognitif atau adopsi pandangan ekstrem. Kemudian bergabung dengan kelompok atau jaringan yang mendukung ideologi tersebut yang masuk dalam Radikalisasi Sosial. Hingga akhirnya masuk dalam Radikalisasi Tindakan atau berpartisipasi dalam kegiatan kekerasan atau terorisme.
Borum menerangkan bahwa radikalisasi adalah fenomena kompleks yang melibatkan interaksi antara faktor individu, sosial, dan ideologis. Proses ini tidak dapat dijelaskan oleh satu teori tunggal, dan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi radikalisasi akan membantu dalam upaya pencegahan dan intervensi yang lebih efektif. Mengingat bahwa radikalisasi adalah proses yang bisa berlangsung secara bertahap, upaya pencegahan harus memperhatikan berbagai tahapan tersebut untuk mencegah individu jatuh ke dalam ekstremisme kekerasan.
Dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus memberikan edukasi bahwa kita tetap harus berempati pada kekerasan atau konflik global yang terjadi jauh di negara lain, apalagi konflik tersebut memakan korban anak dan perempuan. Pemerintah juga harus memberikan dukungan terhadap korban perang melalui bantuan-bantuan obat-obatan dan makanan sebagai bentuk perwakilan kehadiran Negara terhadap bangsa lain yang membutuhkan.
Dalam waktu yang bersamaan, pemerintah dan masyarakat mesti menyadari bahwa empati yang diberikan tidak terbatas agama dan kelompok yang sama, melainkan sebagai sesama manusia. Sehingga masyarakat tidak muda diadu domba dengan isu yang jauh namun berdampak di negara sendiri dengan terjadinya konflik. Karena kebencian yang terbangun di masyarakat tidak ada dampaknya bagi konflik geopolitik, tidak pula mendorong berhentinya perang. Jangan sampai justru sesama warga Indonesia justru berkonflik satu sama lain.