Dalam beberapa hari terakhir, sebagian besar masyarakat intens membahas hasil fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Ijtima Ulama tentang hukum salam lintas agama. Dalam fatwa itu disebutkan bahwa menggabungkan salam dalam berbagai agama dengan asas toleransi tidak dibenarkan atau menyalahi syariat. Alasannya penggabungan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah.
Pro dan kontra pun muncul. Sebagian kelompok meyakini bahwa fatwa MUI tersebut sudah tepat, tetapi sebagian yang lain menilai bahwa salam lintas agama bisa dimaknai sebagai sebagai akomodasi sosial dan toleransi yang berarti bisa dimaknai dalam koridor muamalah.
Memang, harus diakui dan disadari bersama bahwa masing-masing kelompok mempunyai pandangan yang berbeda. Jika salam lintas agama dianggap termasuk ibadah, maka perlu ada kehati-hatian (ikhtiyat) karena berkaitan dengan keyakinan. Namun jika dimaknai sebagai bagian dari muamalah, maka pertimbangan kemaslahatan (kepentingan umum) menjadi lebih utama.
Urgensi Salam Lintas Agama
Tulisan ini akan mencoba mengupas dari sisi lain. Selain karena ranah ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, tulisan ini akan mengulas urgensi salam lintas agama.
Pertama, bahwa sebagai bangsa yang plural, salam lintas agama dapat dimaknai sebagai salah satu cara untuk menghancurkan eklusifisme dan menumbuhkan inklusifisme.
Indonesia, negeri yang kaya akan keberagaman budaya dan agama, telah lama menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan saling menghormati. Salah satu wujud nyata dari semangat toleransi ini adalah penggunaan salam lintas agama. Hal ini tentu harus dilihat dari perspektif yang lebih luas, salam lintas agama dapat dipahami sebagai bagian dari muamalah, yaitu interaksi sosial antar manusia.
Kedua, memperkuat toleransi. Sebagai negara dengan beragam agama, suku dan budaya, toleransi merupakan kunci utama untuk menjaga kerukunan dan mencegah konflik. Salam lintas agama menjadi simbol penghormatan terhadap keberagaman ini.
Dengan mengucapkan salam lintas agama, kita menunjukkan sikap terbuka dan menerima perbedaan. Kita juga membangun jembatan komunikasi dan mempererat tali persaudaraan dengan sesama anak bangsa.
Ketiga, mempromosikan dialog dan perdamaian antaragama. Mengucapkan salam dengan berbagai agama adalah upaya untuk mempromosikan dialog dan perdamaian anataragama serta mempererat persaudaraan dan kebangsaan. Jadi, akulturasi budaya ini tidak merusak aqidah selama niatnya baik dan tidak mengandung syirik.
Keempat, salam: doa dan harapan baik. Salam lintas agama yang selama ini berkembang di kalangan masyarakat sebagai bagian praktik baik (best practise) merawat kerukunan umat. Hal ini senada dengan Kamaruddin Amin, Dirjen Bimas Islam Kemenag, bahwa salam lintas agama disampaikan bukan untuk merusak aqidah antarumat, melainkan berangkat dari kesadaran dari sikap saling menghormati dan toleran.
Salam Lintas Agama: Komitmen untuk Rukun Bersama
Ucapan selamat hari raya agama lain juga dapat dipahami sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap keyakinan orang lain. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk berbuat baik kepada semua orang, tanpa memandang agama dan suku.
Sebagai Muslim yang kritis, kita harus mampu memahami ajaran Islam secara komprehensif dan tidak terjebak dalam pemahaman yang sempit dan dogmatis. Kita juga harus berani menolak taklid buta dan mempertanyakan tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.
Dalam konteks salam lintas agama, kita perlu memahami bahwa salam ini tidak sampai pada masalah ibadah (keyakinan), melainkan bagian dari muamalah. Dengan demikian, kita dapat menggunakan salam ini sebagai sarana untuk membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia, tanpa mengorbankan keyakinan agama kita. Sehingga, sekali lagi, alam lintas agama adalah salah satu bagian dari bentuk komitmen untuk hidup rukun bersama dan membangun keakraban.
Terakhir, salam sejatinya bagian dari doa. Lantas, salahkah jika umat Islam mendoakan umat non-Islam? Jika ditelisik lebih jauh, doa tidak semata-mata hanya murni persoalan ibadah, tetapi dalam konteks yang lebih luas lagi, doa dapat dimaknai sebagai bagian dari relasi sosial yang baik.
Hal demikian pernah dilakukan oleh Nabi. Saat itu, dalam sebuah kisa, Nabi didatangi seorang Yahudi. Orang Yahudi tersebut berkata: “Doakan aku.” Nabi pun berdoa:
“Mudah-mudahan Allah memperbanyak harta dan anakmu, menyehatkan tubuhmu, dan memanjangkan umurmu.” (HR Ibnu Abi Syaibah).
Memang terdapat ulama yang melarang mendoakan kebaikan non-muslim. Salah satu argumen kelompok ini adalah, mendoakan non-muslim berarti sama halnya mendukung kekufurannya. Namun demikian, rasanya salam di era saat ini telah mengalami pergeseran paradigma yang jauh, salam adalah bagian dari moral sosial dan komitmen untuk saling menjaga kurukunan dan persaudaraan tanpa menggadaikan iman. Wallahu a’lam.