Membingkai Kebersamaan Tanpa Isu SARA

Membingkai Kebersamaan Tanpa Isu SARA

- in Narasi
1972
0

I have a dream that one day this nation will rise up and live out the true meaning of its creed: “ We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal””

(Martin Luther King Jr)

Saya memiliki sebuah mimpi bahwa suatu hari bangsa ini akan bangkit dan menjalankan makna sebenarnya dari kepercayaan: “Kami memegang kebenaran ini untuk menjadi bukti nyata, bahwa semua manusia diciptakan sama”.

Begitulah kira-kira arti dari kutipan Martin Luther King Jr berjudul “i have e dream” tersebut.

Salah satu pidato monumental yang diakui sebagai salah satu pidato paling berpengaruh di dunia. pidato yang disampaikan tanggal 28 Agustus 1963 tersebut berisi seruan kesetaraan ras dan diakhirinya diskriminasi.

Disampaikan di Amerika, pidato yang dalam draft awalnya sempat diberi judul normalcy, never again (kenormalan, jangan terulang lagi) tersebut menginspirasi seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia. Tidak hanya hitungan tahun, pidato tersebut tetap dikenang hingga sekarang.

Isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) telah menjadi momok menakutkan akhir-akhir ini. Ditengarai, isu ini juga digunakan sebagai alat propaganda yang menyebabkan perang dunia ke-2. Peristiwa mengerikan yang tak ingin kita ulang.

Sikap primordial, diakui atau tidak memang telah menjadi bagian dari identitas manusia. Kita akan merasa nyaman ketika berada di wilayah yang memiliki kesamaan dengan kita. Ketika sudah berada dalam satu gerombolan yang memiliki kesamaan, keberanian seolah terpompa. Tidak peduli siapa lawannya, asalkan kita berada di dalam kelompok, sikap perlawanan akan mengemuka.

Pada tahun 2016, kamus Oxford telah menjadikan post-truth sebagai word of the year. Secara sederhana post-truth bisa diartikan sebagai keadaan di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini masyarakat. Opini masyarakat terbentuk lebih karena emosi dan keyakinan personal.

Dalam kondisi ini, masyarakat lebih melihat sebuah pendapat dari siapa yang menyampaikan. Upaya untuk memfilter kebenaran sebuah berita secara kritis menjadi pudar. Ujar-ujar undzur ma qala w ala tandzur man qala (perhatikan apa yang disampaikan, jangan perhatikan siapa yang menyampaikan) disingkirkan.

Mudahnya akses informasi melalui internet ternyata tidak membuat masyarakat terhindar dari gejala ini. Alih-alih menjadi alat peredam, dunia maya utamanya media sosial, dalam beberapa kasus justru menjadi pemicu merebaknya gejala ini.

Tak terhitung lagi berapa banyak orang yang tersandung kasus ujaran kebencian dan penyebaran berita hoax (berita palsu). Ironisnya, mereka yang melek teknologi dan memiliki pendidikan tinggi tak luput dari jebakan ini. Bahkan, beberapa justru ditengarai sebagai penyebar dan pembuat.

Kecenderungan masyarakat untuk menerima berita tanpa melakukan upaya konfirmasi (tabayun) menyebabkan banyak isu mudah “digoreng” untuk kepentingan segelintir orang. Isu SARA, utamanya Agama, yang sangat terkait dengan sisi emosional manusia menjadi lahan subur. Massa sangat mudah terbakar emosinya ketika sedikit saja menyinggung persoalan ini.

Di Indonesia, pengerahan massa dengan menggunakan cara-cara ini telah terbukti berhasil dilaksanakan. Sebuah fakta miris dengan konsekuensi panjang yang meresahkan.

Di tahun 2018 yang disebut-sebut sebagai tahun politik ini, penggunaan isu SARA untuk kepentingan politik praktis menjadi salah satu perhatian kita. Jika sampai isu ini digunakan untuk memobilisasi massa demi kepentingan jangka pendek taruhannya sangat besar. Keutuhan bangsa ini bisa tercabik-cabik karenanya.

Di antara sekian banyak isu, agama menjadi salah satu alat ampuh untuk mengundang sentimen masyarakat. Masih jelas di ingatan kita, bagaimana isu agama digunakan untuk memunculkan sentimen masyarakat dalam pilkada DKI kemarin. Ayat-ayat Al Quran digunakan untuk memobilisasi massa dengan menggunakan arti yang tidak pada tempatnya.

Dalam ilmu tafsir, kata dalam Al Quran tidak bisa diartikan kata per kata sesuai kehendak kita sendiri, menuruti nafsu kita sendiri. Apalagi jika kita tidak memiliki perangkat keilmuan yang cukup untuk melakukan tafsir. Harus dilihat penggunaan kata tersebut dalam ayat. Setelah itu, perlu juga memahami makna yang dimaksud dan hubungannya dengan ayat lain.

Belum lagi jika kita melihat konteks turunnya ayat tersebut. Ayat yang diturunkan untuk merespons peristiwa perang tentu tidak cocok digunakan dalam keadaan damai. Begitu juga sebaliknya. Ahmad Ishomudin (2018) pernah menyampaikan bahwa negara ini tidak dibangun dalam pemisahan antara Darul Harbi dan Darul Islam. Lebih luas dari itu, kita membangun negara kita sebagai Darussalam, negara yang mencita-citakan perdamaian. Dalam negara damai, keamanan didahulukan daripada keimanan. Tentu dengan catatan bahwa kebebasan untuk beragama dan menjalankan keyakinan masing-masing mendapatkan jaminan.

Dengan merenungi hal tersebut, tentu kita tidak ingin negara besar ini tercabik dan terpecah oleh keegoisan dan sikap primordial kita. Apalagi jika menggunakan agama untuk melaksanakannya. Seolah-olah agama memerintahkan, padahal sebenarnya tidak. Kurangnya pemahaman kita terhadap perintah agama saja yang membuatnya seolah-olah demikian.

Facebook Comments