Mempraktekkan Iman dalam Bentuk Jaminan Rasa Aman

Mempraktekkan Iman dalam Bentuk Jaminan Rasa Aman

- in Narasi
51
0
Mempraktekkan Iman dalam Bentuk Jaminan Rasa Aman

Iman dan rasa aman memiliki keterkaitan yang erat dan saling melengkapi dalam ajaran Islam. Secara linguistik, kata “iman” berasal dari akar kata yang sama dengan “aman,” yaitu dari bahasa Arab “amanah,” yang berarti rasa aman, kepercayaan, dan perlindungan. Iman tidak hanya bermakna keyakinan terhadap Allah dan ajaran-ajaran-Nya, tetapi juga menuntut adanya perilaku yang menciptakan rasa aman bagi diri sendiri dan orang lain.

Dengan kata lain, iman yang benar dan sejati adalah iman yang diwujudkan dalam sikap dan tindakan yang memberikan kenyamanan serta keselamatan kepada lingkungan sekitar. Orang yang beriman sejati akan menciptakan rasa aman dalam masyarakat karena ajaran Islam menekankan prinsip kedamaian, keadilan, dan kasih sayang.

Rasulullah SAW menggambarkan karakteristik seorang Muslim yang baik sebagai sosok yang tidak membuat orang lain merasa terancam atau terganggu oleh tangan atau lisannya. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki iman yang kuat seharusnya menjadi sumber keamanan, bukan sumber ketakutan atau kekacauan. Iman yang benar tidak hanya melibatkan hubungan vertikal antara manusia dan Allah, tetapi juga hubungan horizontal antara manusia dan sesamanya, di mana rasa aman menjadi aspek penting yang harus dipelihara.

Lebih dari itu, orang beriman juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin rasa aman dalam segala aspek kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Jaminan rasa aman ini mencakup aspek fisik, emosional, dan sosial.

Dalam Islam, bahkan sekecil tindakan yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan nilai iman. Orang yang beriman diharapkan mampu mengendalikan diri, berkata baik, bersikap adil, serta mencegah terjadinya konflik dan kekerasan di lingkungannya. Dengan demikian, mereka berperan aktif dalam menciptakan kedamaian dan harmoni di masyarakat.

Dengan pemahaman yang kuat akan hubungan antara iman dan aman, seorang Muslim dituntut untuk menjadi pribadi yang dapat dipercaya dan bisa memberikan rasa tenang kepada orang lain. Menciptakan rasa aman bukan hanya soal tidak melakukan tindakan yang merugikan, tetapi juga berupaya aktif untuk melindungi hak-hak orang lain, memberikan bantuan saat dibutuhkan, serta menjaga stabilitas dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.

Islam selalu menempatkan keimanan selalu bergandengan dengan kebajikan sosial. Barangsiapa beriman dan beramal shaleh selalu menjadi gandengan kata yang banyak ditemukan dalam al-Quran. Ini menunjukkan sesungguh keimanan yang bersifat spiritual, tidak bisa dilepaskan dengan kebaikan yang bersifat sosial.

Tidak bisa dipisahkan antara orang yang beriman kepada Tuhan, Rasul dan hari akhir dengan praktek kebaikan sosial. Keimanan harus diekspresikan dengan kebaikan sosial. Karena itulah, orang yang beriman adalah orang yang selalu memancarkan rasa aman di tengah kehidupan sosial.

Bukan orang yang beriman jika dalam kehidupan sehari-hari justru mengabaikan keteraturan dan kerukunan sosial. Bukan orang beriman jika tindakannya justru menimbulkan kecemasan dan kekacauan di tengah masyarakat. Ciri khas orang beriman adalah orang yang memberikan rasa aman kepada lingkungannya.

Nabi mengilustrasikan iman dengan beberapa cabang. “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘Laa ilaaha illallah’ (tidak ada Tuhan selain Allah) dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman.((HR. Muslim dan Bukhari).

Iman itu bukan sekedar persoalan keyakinan ketuhanan, tetapi tentu saja yang paling dari keimanan adalah persoalan keimanan. Namun, praktek kebaikan sosial seperti yang dicontohkan Nabi memberikan rasa aman kepada pengguna jalan adalah bagian dari iman.

Jika sekedar menyingkirkan batu, kerikil, dan gangguan lainnya di tengah jalan adalah bagian iman, tentu hal yang lebih besar dari itu seperti menjamin keamanan masyarakat adalah sebuah praktek keimanan. Iman itu adalah bagian dari tindakan kebaikan sosial.

Karena itulah, dalam beberapa hadist Nabi selalu menjadikan syarat kebaikan sosial sebagai sempurnanya keimanan. Misalnya, hadist Nabi tentang sempurnanya orang beriman ketika ia menghormati tamu, sempurnanya orang beriman ketika menghargai tetangganya dan bahkan sempurnanya iman ketika ia mampu berkata baik.

Nabi bersabda : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” (HR Bukhari dan Muslim). Jadi, orang beriman adalah orang yang mampu memberikan rasa aman terhadap orang lain akibat mulut atau lisannya. Orang yang selalu menebar kebencian dan makian sesungguh bukan orang beriman yang sempurna.

Bukan orang beriman, kata Nabi, kecuali orang itu mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Sungguh iman adalah sesuatu yang mahal dan tidak hanya persoalan keyakinan semata. Bukti keimanan harus dipraktekkan dalam tindakan kebaikan yang mampu memberikan rasa aman kepada yang lain.

Iman tidak boleh hanya didiamkan menjadi keyakinan, tanpa praktek kebaikan. Namun sebaliknya praktek kebaikan harus mempunyai dasar yang kuat tentang ketuhanan. Karena itulah, Nabi meletakkan level paling tinggi keimanan adalah persoalan Tauhid.

Facebook Comments