Manusia yang tercerahkan, bukan manusia yang merendahkan. Itulah salah satu output utama dari proses penyelenggaraan pendidikan. Baik pendidikan di sekolah, maupun pendidikan di rumah. Manusia yang telah mengalami pencerahan niscaya akan memancarkan kebaikan dalam kesehariannya. Dia menjadi sumber inspirasi dan teladan.
Sebaliknya, pendidikan yang gagal akan menciptakan manusia-manusia yang gemar merendahkan. Ilmu yang didapatkan bukan semakin mendekatkan dirinya kepada tuhan sehingga bisa mengimplementasikan sifat-sifat tuhan. Tetapi justru menjadikannya sebagai orang yang sombong karena merasa ilmunya telah tinggi. Jika ini yang terjadi, artinya pendidikan akhirnya gagal menanamkan karakter kebajikan untuk dirinya. Problem seperti ini yang harus dikikis agar pendidikan bisa mencapai tujuan utamanya.
Haidar Bagir (2019), dalam bukunya Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan menjadi kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga menjadi manusia sejati. Manusia yang memiliki kehidupan penuh makna, bagi bagi dirinya maupun untuk orang lain (halaman 34).
Dalam konteks pendidikan Islam, Haidar Bagir menyatakan agar pengajaran keruhanian dan akhlak hendaknya tidak berhenti pada sekedar rutinitas peribadahan dan pengajaran akhlak yang bersifat kognitif belaka. Namun didasarkan pada pemahaman makna batiniah dari ajaran-ajaran agama dan akhlak tersebut. Pengajaran tersebut juga dilakukan dengan kebersihan hati dan semangat kasih sayang (halaman 76). Jadi tujuan dari pendidikan agama adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak peserta didiknya.
Baca Juga :Bangun Generasi Toleran dengan Pendidikan Agama Substantif!
Terkait akhlak peserta didik, kita bisa bercermin dari kasus yang viral beberapa hari kemarin. Berita mengejutkan yang datang dari daerah jawa tengah. Seorang siswi SMA menjadi korban tindakan intoleransi teman sekolahnya sendiri. Penyebabnya dia tidak menggunakan jilbab.
Siswi kelas X ini mendapat beberapa pesan beruntun, yang menjurus pada pemaksaan, via whatsapp agar memakai hijab. Tindakan tersebut dilakukan oleh oknum anggota kerohanian Islam. Tindakan oknum tersebut terbongkar setelah orang tua korban melaporkannya ke pihak sekolah. Meskipun akhirnya kasus ini bisa diselesaikan dengan baik, banyak pelajaran yang bisa diambil agar kejadian intoleransi seperti ini tidak terjadi lagi.
Ada beberapa penyebab mengapa ada oknum kerohanian Islam yang melakukan perbuatan ini. Pertama, orang tersebut merasa ilmu agama yang dimilikinya merupakan kebenaran mutlak sehingga harus disampaikan dan diterima pihak lain. Jika orang lain mengabaikannya, maka dianggap telah berdosa.
Sikap ini hadir justru karena ketidakpahaman yang bersangkutan tentang ilmu-ilmu agama. Mereka yang memiliki maqam agama yang tinggi, niscaya akan bijak dan berhati-hati dalam menyampaikan risalah agama. Tidak juga melakukan pemaksaan yang akhirnya membuat pihak lain segan dengan ajaran agama yang ingin disampaikan.
Kedua, masih tipisnya kemampuan untuk menghargai perbedaan pandangan kebenaran yang dianut pihak lain. Bibit-bibit intoleransi ini perlu dikikis sehingga tidak mudah mengadili orang lain.
Dari peristiwa di atas, kita tampaknya perlu belajar kembali sekaligus mengoreksi tata cara menyampaikan kebenaran (dakwah) agar menimbulkan rasa simpati. Tindakan oknum rohis di atas adalah hal yang perlu dihindari karena menjurus pada pemaksaan.
Dalam Islam, kita tidak diperbolehkan memaksakan kebenaran yang dimiliki. Baik terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim. Menyampaikan boleh, tetapi tidak disertai paksaan. Jika belajar dari sejarah rasulullah, banyak pihak yang memeluk Islam karena pancaran kebaikan. Bukan dari intimidasi dan pemaksaan.
Mengajak orang lain melakukan hal yang baik, jika dilakukan dengan paksaan, niscaya akan menimbulkan penolakan. Berbeda jika ajakan tersebut disampaikan dengan lemah lembut. Contoh mudahnya, jika ada anak yang dipaksa untuk belajar dan disertai dengan ancaman, maka dia akan segan melakukannya. Jika dilakukan, dia berada dalam tekanan sehingga hasilnya tidak akan optimal.
Berbeda dengan anak yang diminta belajar dengan ajakan yang baik dan disertai kegembiraan. Dia akan belajar dengan baik dan hasilnya sesuai harapan. Misalnya anak dipaksa belajar berenang dengan cara langsung diceburkan dalam kolam renang. Dia mungkin akan bisa langsung berenang dengan cepat, tetapi meninggalkan trauma mendalam.
Dunia pendidikan, khususnya sekolah, mestinya bisa mengkondisikan agar berbagai aksi pemaksaan dan intoleransi bisa ditekan semaksimal mungkin. Pemaksaan dan intoleransi dalam bentuk apapun. Dengan begitu, pendidikan menjadi instrumen efektif untuk mencerahkan manusia.