Seorang pembina Pramuka mengajarkan yel-yel bernuansa agama ketika praktek kursus mahir lanjutan (KML) yang diadakan Kwarcab Pramuka Kota Yogyakarta di SD Negeri Timuran, Kota Yogyakarta pada Jumat (13/1), sebagaimana diberitakan Kumparan (13/1). Diketahui bahwa yel-yel tersebut adalah dalam bentuk tepuk pramuka Islam Yes, Kafir No. Meskipun yel-yel tersebut spontanitas dari salah satu pembina Pramuka, tetapi peristiwa ini cukup berpotensi menumbuhkan benih-benih intoleransi.
Intoleransi dalam lembaga pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari pemerintah, lembaga sekolah itu sendiri dan masyarakat luas. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama, karena lembaga sekolah merupakan instansi yang diantara tugasnya adalah membentuk karakter siswa atau manusia Indonesia. Karakter tersebut bisa dalam bentuk menghargai perbedaan dan keragaman. Di sinilah sikap dan perilaku toleran harus diajarkan dan dipastikan benar-benar dipahami dan dipraktekkan oleh siswa.
Namun, yang terjadi seringkali justru malah sebaliknya; praktek-praktek intoleransi justru lahir di lembaga sekolah. Banyak contoh yang bisa dihadirkan guna untuk mendukung alasan ini. Di antaranya adalah kurangnya penghargaan terhadap siswa/siswi yang beragama lain. Celakanya lagi, tidak siswa/siswi yang melakukan tindakan intoleransi, namun justru guru yang mengajarkan intoleransi.
Jika lembaga sekolah sebagai penyemai bibit toleransi saja justru menebar benih intoleransi, lantas mau seperti apa Indonesia ke depannya? Tentu semakin suram.
Kedua, lembaga pendidikan sebagai benteng laku intoleran. Sikap toleransi harus diajarkan sejak dini. Dan yang paling logis dan realistis untuk menyemai nilai dan sikap toleran tersebut adalah lembaga sekolah, tentu tanpa mengabaikan peran orang tua dan lingkungan sekitar. Ketika laku intoleran marak, maka bentengnya adalah pendidikan. Namun, bagaimana jika benteng itu hancur? Inilah PR kita bersama.
Beberapa Faktor Penyebab
Harus diakui dan disadari bahwa banyak aktor dan faktor yang menyebabkan bibit intoleransi berkembang subur di lingkungan pendidikan dan seolah menjadi semacam lingkaran setan.
Baca Juga :Peran Living Values Sekolah dalam Menanggulangi Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah
Pertama, lemahnya penerjemahan visi para pemangku kepentingan dalam penyemaian toleransi di sekolah/lembaga pendidikan. Dalam tulisan saya sebelumnya di Jalan Damai “Khalifah dan Dakwah Teroror” (10/1), kepala sekolah mengaku kecolongan terhadap kasus yang menimpa salah satu siswinya, yang oleh pengurus Rohis dipaksa untuk mengenakan jilbab. Sekalipun konteksnya adalah pemaksaan jilbab tersebut untuk siswi yang beragama Islam, namun tetap saja pemaksaan tersebut sudah masuk dalam ranah intoleransi.
Sederhananya, sebagian pimpinan lembaga pendidikan, katakanlah kepala sekolah dan jajarannya, seringkali abai terhadap benih-benih intoleransi yang terjadi di lingkungan sekolah yang mereka nakhkodai.
Kedua, terjadi diskriminasi karena minimnya pemahaman atau tidak bisa membedakan mana ranah pribadi dengan nilai dasar atau hak siswa itu sendiri. Misalnya dalam kasus pemakaian jilbab. Seringkali guru tidak bisa membedakan bahwa jilbab adalah ranah pribadi, akibatnya siswi yang tak memakai jilbab dipaksa dengan dalih jilbab merupakan kewajiban bagi siswi yang beragama Islam.
Ketiga, absennya ormas-ormas moderat, seperti NU, Muhammadiyah, PGI, KWI dan lainnya. Ormas, dalam kaitannya intolernasi, memiliki peran siginifikan. Absennya peran mereka akan berbanding lurus dengan menguatnya praktek intoleransi.
Memang, kasus intoleransi terjadi di sedikit lembaga pendidikan, dan ini tidak bisa dijadikan sebagai generalisasi bahwa lembaga pendidikan merupakan ladang benih-benih intoleransi. Perlu diketahui bersama bahwa jumlah sedikit tidak bisa menjadikannya kita abai terhadap masalah tersebut. Justru karena masih sedikit itulah, kita tekan sedemikian rupa agar musnah.
Alih-alih memusnahkan benih intoleransi di lembaga pendidikan, yang ada justru lembaga pendidikan saat ini seolah menjadi “sarang” benih-benih intoleransi itu tumbuh. Kasus demi kasus yang terjadi saban tahunnya menjadi bukti bahwa intoleransi sudah menjadi semacam lingkaran setan.
Memutus Lingkaran Setan
Tentu kita tidak ingin lembaga pendididikan terus-menerus “memproduksi” sikap dan perilaku intoleran. Sebaliknya, lembaga pendidikan wajib menjadi garda terdepan dalam “memerangi” intoleransi. Bersamaan dengan itu, juga getol tanpa lelah mencetak generasi yang toleran dan beradab.
Untuk itu, perlu jalan keluar untuk memutus lingkaran setan intoleransi dalam dunia pendidikan. Alamsyah M. Dja’far (2015) membeberkan beberapa cara. Pertama, pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sekolah-sekolah, utamanya di sekolah negeri.
Sekolah negeri didirikan dan bisa eksis karena dapat suntikan dana dari masyarakat melalui pajak. Masyarakat ini tentu saja beragam, maka sekolah negeri harus menjadi tempat strategis membangun kesadaraan kebhinekaan dan toleransi. Lantas, bagaimana caranya? Dengan pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan.
Kedua, meningkatkan partisipasi orang tua murid untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman intoleran. Kasus intoleransi seringkali dibiarkan saja oleh siswa dan orang tua siswa (wali murid), entah karena patuh sama guru atau apa, yang jelas, masih banyak yang hanya didiamkan saja. Oleh sebab itu, melaporkan kasus-kasus intoleransi kepada sekolah atau lembaga pengawas eksternal seperti Ombusdman dan lainnya, menjadi langkah selanjutnya untuk memutus lingkaran setan intoleran di sekolah.
Ketiga, membuat atau memperkuat pola audit kinerja internal di sekolah-sekolah. Dja’far menegaskan bahwa lembaga atau layanan yang berprinsip non-diskriminasi di sekolah menjadi penting. Tentu tugas dan fungsinya adalah untuk memastikan bahwa tak ada diskriminasi dan intoleransi dalam sekolah.