Mencegah Intoleransi Sejak Dini : Sekolah Sebagai Ladang Subur atau Benteng Pertahanan?

Mencegah Intoleransi Sejak Dini : Sekolah Sebagai Ladang Subur atau Benteng Pertahanan?

- in Narasi
8
0
Mencegah Intoleransi Sejak Dini : Sekolah Sebagai Ladang Subur atau Benteng Pertahanan?

Intoleransi bukan lagi isu yang berada di luar pagar sekolah. Justru kini, sekolah menjadi salah satu tempat di mana benih-benih intoleransi mulai tumbuh. Pertanyaannya, bagaimana merubah sekolah yang dianggap ladang subur menjadi benteng pertahanan dari intoleransi?

Data Setara Institute for Democracy and Peace tahun 2023 mengungkapkan fakta mengejutkan: terjadi peningkatan jumlah pelajar intoleran aktif di tingkat SMA dan sederajat di lima kota besar Indonesia—Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang. Dari 947 responden, sebanyak 5,6 persen pelajar tergolong sebagai intoleran aktif, naik drastis dari hanya 2,4 persen pada tahun 2016. Bahkan, 56 persen responden setuju dengan penerapan syariat Islam sebagai hukum negara, sementara 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi permanen.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah alarm darurat yang menunjukkan bahwa ruang pendidikan kita mulai mengalami pembelokan arah, dari ruang pembelajaran menjadi ladang penyemaian paham eksklusif yang menolak keberagaman.

Intoleransi di sekolah bukan persoalan sederhana. Memang banyak faktor yang melingkupinya. Mulai dari kebijakan sekolah yang tidak kondusif dari penyemaian kebhinekaan hingga oknum guru dan aktivitas esktrakurikuler yang berpotensi menanamkan sikap dan paham intoleran.

Idealnya, kita meyakini sekolah seharusnya menjadi benteng pertama dalam membentuk karakter kebangsaan siswa. Namun jika ruang kelas tidak diisi oleh nilai-nilai toleransi, maka ruang itu akan diisi oleh narasi-narasi sempit dan radikal.

Menurut Dr. Najeela Shihab, pakar pendidikan sekaligus pendiri Sekolah Cikal, “Anak-anak tidak terlahir dengan sikap intoleran. Mereka belajar menjadi intoleran dari lingkungan dan sistem yang gagal mengajarkan empati dan keragaman.” Pernyataan ini sebenarnya menegaskan bahwa intoleransi adalah sebuah konstruksi sosial-budaya.

Karena itulah, penting menyadari bahwa intoleransi tidak muncul secara tiba-tiba. Ia bertumbuh secara perlahan dari kebiasaan memandang orang berbeda sebagai ancaman, dari pembiaran terhadap ujaran kebencian, dari sistem pendidikan yang terlalu fokus pada hafalan tanpa pembentukan karakter dan nilai.

Mendesain Sekolah sebagai Benteng

Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru. Orang tua, kepala sekolah, bahkan kebijakan pemerintah daerah harus ikut andil dalam menciptakan ruang belajar yang inklusif. Institusi pendidikan yang terhormat tidak boleh hanya fokus pada prestasi akademik tanpa pembinaan nilai. Fungsi utama pendidikan adalah sebagai pembentuk kepribadian bangsa.

Program pendidikan harus memasukkan pembelajaran toleransi sebagai muatan wajib, bukan hanya sisipan di luar jam pelajaran. Kegiatan lintas budaya, forum siswa antaragama, hingga pelatihan guru dalam mengenali dan mencegah ekstremisme harus menjadi agenda utama dalam pengembangan pendidikan nasional.

Mencegah intoleransi sejak dini jauh lebih efektif dibanding memperbaiki kerusakan yang sudah terlanjur terjadi. Mengajarkan toleransi bukan dengan hafalan atau sekedar nilai bagus pelajaran. Pendidikan kewarganegaan adalah sebuah praktek nilai. Ia tidak boleh diajarkan tekstual. Karenanya, pendidikan toleransi adalah sebuah proyek holistik yang bersifat subtantif, bukan kuantitatif.

Budaya perjumapaan dan diskusi lintas keyakinan dan kunjungan ke rumah ibadah yang berbeda, akan membentuk pemahaman bahwa perbedaan bukan musuh. Penyediaan fasilitas sekolah yang mengafirmasi beragam keyakinan adalah pembelajaran yang terbaik dari sekedar pelajaran tekstual. Gelaran hari raya keagamaan di sekolah dari beragam agama adalah bukti festival keragaman.

Pendidikan toleransi adalah pembudayaan nilai, bukan fokus pada bagusnya nilai ujian. Sekolah sebagai benteng toleransi adalah sebuah proyek membangun pagar sekolah yang kuat dari sebuan intoleransi, arus kebencian, segregasi dan ekslusifitas.

Ingat, membiarkan intoleransi berkembang tanpa intervensi akan menciptakan generasi muda yang eksklusif, mudah terprovokasi, dan menganggap kebenaran hanya milik kelompoknya sendiri. Ini bukan hanya ancaman bagi kehidupan sosial, tapi juga bagi masa depan demokrasi dan kebangsaan kita.

Jika generasi muda sudah mempertanyakan Pancasila dan menerima narasi intoleran, maka masa depan kebinekaan Indonesia sedang berada di persimpangan. Sekolah tidak boleh netral dalam hal ini. Ia harus menjadi garda terdepan dan benteng dalam menyemai dan membela nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan keberagaman.

Facebook Comments