Apa ada yang salah dengan hijrah sehingga dicap identik dengan Wahabi?
Tentu tidak ada yang salah dengan hijrah. Sejatinya, transformasi dari ‘gelap’ menuju ‘terang’ merupakan proses investasi kehidupan untuk mendapatkan sisi terbaik di sisi Allah SWT. Berusaha menjadi seorang muslim yang baik, berharap kelak mendapatkan husnul khotimah adalah sebuah keniscayaan.
Menilik pada sejarah, hijrah berasal dari peristiwa Nabi Muhammad SAW yang melakukan perpindahan dari Mekkah ke Madinah dalam rangka memperluas dakwahnya dan berlindung dari Musyrik Qurais yang senantiasa memeranginya. Hijrah berasal dari kata dasar hajara-yahjuru yang berarti memutuskan dan meninggalkan.
Dalam praktiknya, Rasulullah berhijrah ke Madinah setelah 13 tahun berdakwah di Makkah. Dari sinilah, dakwah Rasulullah semakin meluas dan menerangi kehidupan umat di berbagai belahan dunia.
Namun, belakangan hijrah laiknya menjadi tren, terakumulasi sehingga muncul sentimentnegative akibat ulah beberapa orang yang mengaku paling soleh atau paling benar. Hijrah karbitan, mungkin bisa dibilang.
Pada umumnya, transformasi yang terlihat adalah penampilan yang ditampilkannya. Mulai dari pakaian, kerudung, celana maupun jenggot. Tentu, tidak ada yang salah dari semua itu. Namun secara sosial, imej yang melekat, –pada sebagian kecil mereka, menjadi buruk, karena merasa si paling surga.
Bagaimana tidak, sebagian kecil dari mereka yang baru hijrah, belajar acak dari medsos, tanpa tahu asbabun nuzulnya, kajiannya maupun sanad keguruannya. Akhirnya hijrah karbitan ini sudah berani membid’ah-bid’ahkan Maulid Nabi, Ziarah Kubur, Tahlilan atau kearifan lokal sebuah budaya. Bahkan berani memfitnah ulama ulama mashur terdahulu seperti Kh. Hasyim Ashari, Pendiri Nahdatul Ulama (NU), Habib Munzir Almusawa, dan ulama lainnya. Bagi mereka, sesuatu yang baru, bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Perlahan, perubahan ini pun berdampak di lingkungan sosial. Ada yang membatasi hubungan dengan orangtuanya karena tidak sepemahaman. Ada juga yang kini tidak lagi hadir dalam undangan tahlilan tetangga. Bahayanya, ada yang sudah mulai arogan mengharam-haramkan aktivitas teman/keluarganya, melarang untuk mendengarkan musik, melarang maulid/yasinan/tahlilan di lingkungan rumahnya.
Inilah pentingnya belajar agama dari guru yang jelas sanad keguruannya, agar kita tahu kepada siapa guru kita belajar, apa mahzab, maupun akidahnya. Tidak serampangancomot pendapat ustad di media sosial semaunya. Apalagi belajar random, loncat ke bab-bab jihad, riba, khilafah tanpa belajar fiqih dari awal. Ibarat orang mengaji, belajar Iqra dari alif, ba, ta dulu baru belajar Alquran.
Sebagai hamba Allah dan makhluk sosial, kita harus memaknai kehidupan dengan melihat dua sisi, yakni Habluminallah dan Habluminannas (QS Ali Imron: 112), yang maknanya memperbaiki hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Dengan kata lain, selain kita memperbaiki hubungan dengan Allah, kita juga perlu memperhatikan kesalehan sosial, seperti bermumalah, saling menghargai orang lain, memiliki etika yang baik, menghormati orang tua, dan lain sebagainya.
Tentu masyarakat harus lebih bijak dalam memaknai hijrah ini. Jangan impulsif atau memaknai hijrah sebagai simbol tren masa kini semata. Mari kita memaknai hijrah untuk hal yang sakral. Jika tidak memaknai hijrah dengan baik, maka kita akan kecewa. Akhirnya malah mendegradasi khitoh hijrah itu sendiri.
Mengutip pernyataan Dr. Rena Latifa, Psikolog Klinis dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, baiknya individu memaknai proses hijrah bukan sekadar untuk lari dari kecemasan yang dialami. Melainkan, menjadikan proses hijrah sebagai proses sadar untuk pengembangan ruhani ke arah yang lebih tinggi. Wallahu’alam Bishawab.