Menghargai Keragaman Adalah Kewajiban Seorang Muslim

Menghargai Keragaman Adalah Kewajiban Seorang Muslim

- in Keagamaan
1413
0
Menghargai Keragaman Adalah Kewajiban Seorang Muslim

Keragaman berasal dari kata “ragam” yang berarti macam, jenis, warna, corak, dan tingkah laku. Secara sederhana, keragaman merujuk pada adanya perbedaan pada suatu hal. Sebagai contoh, istilah “keragaman warna” mengindikasikan adanya warna-warna yang berbeda. Dalam konteks masyarakat, keragaman dapat dimaknai sebagai perbedaan yang hadir dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik ras, suku, bangsa, bahasa, budaya dan sebagainya, termasuk juga agama.

Di Indonesia, keragaman merupakan sebuah kenyataan yang tak terelakkan, karena Bumi Pertiwi terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Bisa dikatakan bahwa keragaman telah menjadi sifat yang melekat pada Indonesia, karena ia merupakan bagian dari sejarah dan realitas bangsa. Bahkan, asas keberagamanlah yang menjadi fondasi bangsa Indonesia, yakni melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Keragaman pada dasarnya merupakan suatu kekayaan yang patut disyukuri, karena itu adalah sebuah potensi. Namun di sisi lain, keragaman yang tidak disikapi dengan baik dapat berujung pada malapetaka. Kemungkinan-kemungkinan ini telah disadari oleh para Founding Father Negara Indonesia. Mereka kemudian merumuskan suatu dasar negara yang mengakui dan menghargai perbedaan setiap elemen bangsa. Dasar Negara tersebut saat ini kita sebut sebagai Pancasila.

Namun sungguh disayangkan, belakangan ada kelompok-kelompok tertentu yang berupaya merusak keharmonisan Indonesia. Mereka mencoba memecah kerukunan antar masyarakat, khususnya antar umat beragama. Fenomena tersebut jika tidak respons secara cepat dapat memicu residu-residu perpecahan yang lambat laut menjadi bom waktu. Dalam konteks ini, artikel penulis berupaya menegaskan bahwa menghargai perbedaan adalah keharusan bagi seorang muslim.

Kenapa seorang muslim harus menghargai keragaman?

Sebagian orang mungkin bertanya, kenapa ia harus menghargai perbedaan atau keragaman? Jawaban pertanyaan tersebut bisa bermacam-macam tergantung dari pola pikir dan asas epistemologinya. Akan tetapi, jika ia adalah seorang individu beragama, maka – tentu – kitab suci adalah rujukan utama. Misalnya, jika ia seorang muslim, maka rujukannya adalah kitab suci Al-Qur’an, sumber hukum tertinggi Islam. Al-Qur’an adalah panduan abadi yang harus dikuti muslim sepanjang zaman.

Berkenaan dengan perbedaan atau keragaman, Al-Qur’an telah menyinggung dalam banyak ayat, salah satunya QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, pada QS. Al-Hujurat ayat 13 Allah swt. ingin memberitahukan kepada manusia bahwa Dia menciptakan mereka berbeda-beda, mulai dari jenis kelamin, suku, bangsa, dan sebagainya. Perbedaan tersebut termasuk pula warna kulit, rambut, dan karakteristik badan. Kendati demikian, manusia satu sama lain berkedudukan sama di mata Allah swt., yang membedakannya hanyalah ketakwaan (kualitas pribadi).

Pandangan serupa disampaikan oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya Tafsir Jalalain. Menurutnya, pada ayat ini Allah swt. ingin menyatakan bahwa secara lahiriah manusia diciptakan berbeda-beda, baik rasa, suku, budaya maupun ciri-ciri tubuh. Perbedaan ini diciptakan agar mereka mengenal satu sama lain, bukan untuk saling mendiskriminasi ataupun merasa unggul dari yang lain, karena sesungguhnya nilai seseorang terletak pada ketakwaannya (kebaikan diri).

Dari makna di atas dapat dipahami bahwa Allah swt. telah menciptakan manusia berbeda-beda sebagai sebuah keniscayaan yang telah ditetapkan. Keniscayaan keragaman manusia bisa disebut sebagai “sunnatullah” yang telah digariskan dan tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, seorang muslim harus menyikapi keragaman dengan baik dan bijaksana sebagai bentuk pengejawantahan terhadap ketentuan dan perintah Sang Pemilik Alam.

Bagaimana cara menghargai keragaman?

Pertanyaan yang mungkin muncul setelah seseorang menyadari keniscayaan perbedaan adalah bagaimana cara menghargainya? Apakah cukup dengan dibiarkan atau harus disemarakkan? Jawaban pertanyaan ini terdapat dalam Al-Qur’an, tepatnya QS. Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi:

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ

Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)

Ayat di atas mengindikasikan salah satu cara menghargai yang paling dasar, yaitu membiarkan orang lain beragama sesuai ajaran agamanya. Ini seiring dengan nilai yang terkandung dalam QS. Al-An’am ayat 108 yang berisi perintah agar tidak mengusik atau mengganggu agama lain, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan…”

Larangan mengganggu dan mencaci agama orang lain juga disampaikan oleh Imam Al-Qurthubi saat menafsirkan QS. Al-An’am ayat 108. Menurutnya, Allah swt. telah melarang umat Islam untuk mencaci agama lain. Larangan ini bersifat pasti dan tidak bisa diubah apa pun alasannya. Jika terjadi, cacian tersebut dikhawatirkan dapat mendatangkan mudarat yang besar. Dengan demikian, kaidah dasar menghargai adalah dengan tidak mengganggu.

Kemudian, apakah seorang muslim boleh berbuat baik kepada umat agama lain dalam rangka menghormati kemanusiaan? Berkenaan ini Allah swt berfirman dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8 yang maknanya, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Dalam praktiknya, Nabi Muhammad saw. juga pernah menunjukkan penghormatan atas kemanusiaan kepada umat agama lain. Ini telah diterangkan oleh Imam Bukhari dalam Sahih al-Bukhari. Dikisahkan oleh Abdullah bin Abi Laila, Qais bin Sa’ad dan Sahal bin Hunaif bahwa suatu ketika satu keranda jenazah digotong melewati hadapan Rasulullah saw., lalu beliau berdiri. Ketika diberitahu itu adalah jenazah Yahudi, Nabi saw. menjawab, ‘Bukankah ia juga manusia?

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan dua hal, yaitu: pertama, keragaman atau perbedaan adalah suatu keniscayaan atau sunnatullah. Oleh karena itu, seorang muslim harus menyadarinya; kedua, seorang muslim harus menghargai keragaman, termasuk perbedaan agama. Penghargaan ini bisa diwujudkan melalui dua bentuk, yakni membiarkan/tidak mengganggu atau berbuat baik dalam konteks kemanusiaan tanpa melanggar batasan-batasan syariat. Wallahu a’lam bis shawab.

Facebook Comments