Menjadi Bayi: Puasa dan Transformasi Diri

Menjadi Bayi: Puasa dan Transformasi Diri

- in Narasi
1135
0
Menjadi Bayi: Puasa dan Transformasi Diri

Ada satu rumus yang menyatakan bahwa semakin lemah fisik manusia, maka akan semakin menguat sisi batiniyahnya. Dari berbagai kebudayaan yang ada, sepertinya rumus inilah yang melatari pula perjalanan agama atau khususnya para pemukanya. Tak kurang dari Siddharta, yang meninggalkan segala statusnya di dunia, Yesus, yang konon terang-terangan mengutamakan jiwa dengan titik-berat etika “emas”-nya, hingga Muhammad yang konon selalu memilih jalan tengah dalam setiap persoalan yang dihadapi.

Dalam banyak tradisi spiritual dominasi sisi batiniyah manusia itu dipersonifikasikan sebagai bayi. Tak hanya dipercayai bahwa bayi itu suci, namun untuk melihat bahwa ketika yang non-fisik itu benar-benar hadir, maka bayi adalah sebuah misal yang tepat. Kelemahan fisik seorang bayi akan membuat siapa pun tak akan menggunakan kekerasan untuk menyikapinya. Justru, sang bayi akan segera mendapatkan penyikapan “emas” seperti kasih-sayang dan kenyamanan tak peduli semerepotkan apapun ia.

Rumus inilah yang saya kira mendasari tradisi dan ritual-ritual keagamaan yang selama ini orang lakoni. Dan bukankah dalam banyak tilaran kebudayaan selama ini seolah berlaku adanya kederajatan dari yang kasar menuju yang halus, dari yang kurang baik menuju kebaikan, dari yang berbentuk menuju yang tak berbentuk, dari yang fisik menuju yang non-fisik?

Saya tak akan menyimpulkan bahwa ini semua adalah sebentuk Platonisme yang percaya bahwa yang tampak atau yang terindera hanyalah tiruan semata dari yang tak tampak (eidos). Justru, bagi saya, pengutamaan jiwa atau hal-hal yang non-fisik itu adalah sarana penggandaan kekuatan pada yang fisik.

Hal ini kentara pada praktik puasa Ramadhan yang dilakoni oleh sebagian orang. Dari perspektif moralitas tuan dan budak yang pernah didedahkan oleh Nietzsche, tentu saja puasa adalah sebentuk kekalahan seseorang atas kehidupan sehingga memerlukan sebentuk pelarian yang bernama akhirat atau hasil yang akan dituai kelak. Bagi Nietzschean jelas, logikanya, kalau kenikmatan itu dapat dipenuhi di sini dan kini kenapa harus menunggu kelak di akhirat?

Dalam hal ini, yang dilupakan oleh Nietzsche, saya kira, adalah ketika seseorang berpuasa dan pada saat nantinya berbuka kenikmatan inderawi ternyata dapat berlipatganda, yang otomatis prinsip “Ja sagen” atau afirmasi kehidupan Nietzschean justru dapat nyata terasakan. Bukankah selama ini nyaris tak ada orang yang tak merindukan Ramadhan, dimana konon orang berharap hari-hari itu akan kembali berulang?

Nietzsche tentu saja tak pernah berpuasa Ramadhan sehingga fakta puasa semacam itu luput dari permenungannya perihal agama dan kehidupan keagamaan. Dalam Thus Spake Zarathustra, secara ironis Nietzsche pernah menggambarkan tiga bentuk kedirian manusia dimana yang tertinggi adalah kedirian bayi. Tapi Nietzsche tak teringat perumpamaan bayi itu dalam melihat agama dan kehidupan keagamaan yang menyebabkan pandangannya atas agama terkesan dangkal. Kualitas bayi, dimana yang spiritual atau yang ruhani lebih mendominasi daripada yang material atau jasmani itulah yang saya kira rumus keberhasilan kehidupan yang pernah disajikan oleh agama. Ternyata, seorang yang seolah menampik dunia atau mengundurkan dunia, sebagaimana yang tampak dalam kehidupan orang beragama atau orang berspiritualitas lainnya, justru adalah sebentuk pelipatgandaan keduniawian. Jadi, saya kira, terbantahkanlah Platonisme yang selama ini menjadi momok bagi kehidupan empirik modern.

Facebook Comments