Moderasi Beragama dan Transformasi Digital : Ikhtiar Mereduksi Intoleransi di Media Sosial

Moderasi Beragama dan Transformasi Digital : Ikhtiar Mereduksi Intoleransi di Media Sosial

- in Narasi
178
0
Moderasi Beragama dan Transformasi Digital : Ikhtiar Mereduksi Intoleransi di Media Sosial

Kementerian Agama Republik Indonesia telah menetapkan tahun 2019 sebagai “Tahun Moderasi Beragama”. Moderasi beragama dijadikan sebagai slogan dalam setiap program dan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Agama. Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, institusi ini berusaha untuk memposisikan diri sebagai penengah di tengah pluralitas dan tekanan arus disrupsi yang berdampak pada aspek kehidupan keagamaan dan kebangsaan.

Moderasi beragama yang dimaksud adalah sikap keberagamaan yang moderat, tidak ekstrim dalam beragama, dan juga tidak mengkultuskan rasio yang berpikir kebablasan. Moderasi beragama digaungkan sebagai framing dalam mengelola kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural. Moderasi beragama tidak hanya menjadi kebutuhan personal atau kelembagaan, melainkan secara umum bagi warga dunia, terutama di tengah arus kemajuan teknologi informasi yang disebut dengan era digital.

Dalam era digital yang kaya akan informasi, unsur penting yang dapat diakses oleh masyarakat secara bebas adalah narasi keagamaan. Namun, ironisnya, ruang-ruang digital tersebut dimanfaatkan oleh segelintir kelompok untuk membuat kegaduhan, menciptakan konflik, dan menghidupkan politik identitas. Ruang digital itu kini lebih condong didominasi nilai keagamaan yang menjurus kepada eksklusifitas. Hal ini menjadi tantangan untuk kita semua karena pudarnya afiliasi terhadap lembaga keagamaan, pergeseran otoritas keagamaan, penguatan individualisme, dan transformasi dari pluralisme ke tribalisme. Akhirnya, ruang digital kemudian menjadi arena kontestasi dan kompetisi.

Sementara ruang-ruang digital menjadi arena kompetitif bagi narasi dan kajian keagamaan kelompok tertentu guna menyebarluaskan ide, gagasan, dan simbol keagamaan kepada publik. Subyektifitas terhadap kajian keagamaan menjadi arena basah yang mudah dipermainkan dan dinarasikan sesuai keinginan pihak tertentu. Kondisi demikian memperlihatkan bahwa masyarkat beragama saat ini masih memahami agama dari segi simbol dan masih jauh dari nilai-nilai substansial.

Ironisnya, konten-konten yang mempertontonkan narasi keagamaan secara agresif dan emosional dari gerakan kelompok garis keras mendapatkan simpati di sebagian hati umat beragama. Simpati ini didapatkan dari ruang digital yang tingkat peneyebarannya begitu massif dan mudah. Ruang digital telah menjadi sarana baru dalam menyebarkan ideologi keagamaan tertentu dan kepentingan tertentu sebagai bentuk perlawanan atas organisasi keagamaan yang tidak sejalan atau berbeda pandangan dan juga sebagai bentuk pembelaan dari golongannya sendiri.

Mengarusutamakan Moderasi di Media Sosial

Di tengah fenomena yang mengkhawatirkan ini, pengarusutamaan moderasi beragama di ruang-ruang digital menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kerukunan dan toleransi. Beragam upaya ditujukan guna menjaga kerukunan dan toleransi baik di dunia nyata, maupun dunia digital.

Media sosial merupakan salah satu akses menuju dunia digital, karena secara intens digunakan oleh semua kalangan dan generasi. Media sosial memiliki karakteristik sebagai media masspersonal, membuat media sosial dapat menyebar ke audiens dalam jumlah yang banyak, selain itu juga digunakan sebagai pembentuk opini publik yang bernilai posistif demi kerukunan antarumat bergama.

Media sosial harus menjadi ruang kontestasi baru bagi pengarusutamaan moderasi. Menekan laju masifitas konten intoleransi di media sosial harus dilakukan dengan membanjiri media sosial dengan konten yang berorientasi pada cara pandangan keagamaan yang moderat. Perimbangan infomasi dan pengetahuan harus dilakukan sebagai bagian penting memperbanyak narasi alternatif di tengah tsunami informasi yang bernuansa intoleransi, kebencian, dan segregatif.

Tentu, sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki tanggung jawab untuk melakukan seluruh aktivitas di dunia digitalnya berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan, yakni Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Maka dari itu nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam membuat konten dan berselancar di dunia digital.

Pengelolaan dunia digital ini sebagai upaya pengukuhan toleransi di tengah heterogensi masyarakat tidak boleh berhenti. Ia harus terus digenjot, mengingat ancaman intoleransi sendiri berpotensi tersebar luas di dunia digital.

Facebook Comments