Pendidikan Agama bagi Anak; Antara Militansi dan Toleransi

Pendidikan Agama bagi Anak; Antara Militansi dan Toleransi

- in Narasi
551
0
Pendidikan Agama bagi Anak; Antara Militansi dan Toleransi

Universitas King Collage merilis hasil penelitian tentang kedudukan pendidikan agama di mata orang tua Indonesia. Disebutkan bahwa mayoritas (70 persen) orang tua di Indonesia menganggap pendidikan agama sebagai hal penting yang harus diberikan pada anak. Namun, ironisnya hanya sekitar 45 persen orang tua menganggap toleransi penting diajarkan kepada anak-anak di rumah.

Secara umum, temuan riset itu tidak sepenuhnya baru. Fakta yang sama sudah banyak diungkap sebelumnya oleh sejumlah pihak. Antropolog Martin Van Bruinessen dari Universitas Leiden, Belanda misalnya menyebutkan bahwa pasca Reformasi umat Islam Indonesia mengalami fenomena konservatisme beragama.

Yakni kondisi ketika umat Islam mengalami peningkatan kesalehan namun juga dibarengi dengan menguatnya Intoleransi dan radikalisasi. Artinya, di satu sisi mat Islam kian saleh dalam beribadah, namun di saat yang sama umat Islam juga kian fanatik dan anti pada perbedaan.

Mengapa bisa demikian? Ada beragam faktor yang melatarinya. Pertama, adanya pendangkalan pemahaman agama. Maksudnya, sebagian besar kalangan memahami agama (khusunya Islam) secara simbolis dan mengabaikan prinsip subtantif di dalamnya. Ekspresi keragamaan yang muncul di permukaan pun cenderung artifisial alias palsu.

Kedua, menguatnya ideologi dan gerakan konservatif-radikal yang memiliki agenda politis. Kelompok ini berusaha mencari sebanyak mungkin pengikut dengan menebar propaganda di ruang publik. Umat Islam Indonesia yang tengah antusias mendalami Islam pun banyak yang terjerumus ke dalam jebakan ini.

Konservatisme Keagamaan di Ranah Domestik

Menguatnya konservatisme ini nyatanya tidak hanya terjadi di ruang publik, namun juga merambah ke ranah domestik. Seperti, semakin ke sini kian banyak orang tua atau keluarga yang mengadaptasi model beragama konservatif dalam mendidik dan mengasuh anaknya.

Indikasinya bisa kita lihat dalam berbagai fenomena. Antara lain, kian banyak anak Indonesia yang dinamai dengan Bahasa Arab. Sementara kian sedikit anak Indonesia hari ini yang memiliki nama yang berasal dari bahasa daerah.

Selain itu, kian banyak orang tua yang mengirim anaknya ke sekolah agama maupun pesantren. Asumsinya, ketika anak belajar agama dan menguasainya, maka secara otomatis anak akan memiliki standar moral dan etika yang tinggi. Asumsi itu tidak sepenuhnya salah. Namun, acapkali orang tua tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk memilih lembaga pendidikan agama yang tepat untuk anak.

Sebagian besar orang tua kerapkali hanya terpengaruh oleh tampilan luar, bangunan megah, fasilitas mewah, atau nama besar sebuah lembaga. Tanpa berusaha menyelami lebih dalam Ikhwal kurikulum, metode pengajaran, sekaligus pandangan ideologis institusi tersebut.

Alhasil, banyak orang tua tertipu lembaga pendidikan agama. Mereka berharap anaknya menjadi insan yang relijius dan saleh, namun justru menjadi pribadi yang eksklusif, intoleran, bahkan tega mengkafirkan orang tua sendiri.

Berbagai institusi pendidikan agama yang ada saat ini harus diakui hanya berorientasi pada pembentukan kesalehan atau relijiusitas yang sifatnya simbolik dan artifisial. Lembaga pendidikan agama berlomba menjadikan anak didiknya hafal teks keagamaan (Alquran dan hadist). Bahkan anak-anak seusia sekolah dasar dipaksa menghafal puluhan juz Alquran.

Metode hafalan, dalam paradigma pendidikan ala Taksonomi Bloom terletak pada level terbawah. Metode hafalan hanya akan menduplikasi alias mengulang pengetahuan tanpa berusaha mengkritisinya apalagi menciptakan pengetahuan baru. Sayangnya, banyak orang tua yang bangga anaknya hafal sekian juz Alquran maupun serangkaian hadist.

Institusi pendidikan yang demikian ini cenderung melahirkan generasi yang militan dalam beribadah mahdhah, dan membela agamanya sendiri. Namun, cenderung gagal melahirkan generasi yang toleran dan inklusif. Militansi keagamaan yang berkelindan dengan fanatisme adalah cikal-bakal tumbuhnya embrio intoleransi bahkan radikalisasi.

Pendidikan Agama Berwawasan Keindonesiaan

Pendidikan keagamaan idealnya tidak hanya membentuk jiwa militan dalam beribadah dan membela agama, namun juga mendorong anak berperilaku toleran menghadapi perbedaan. Disinilah peran orang tua akan sangat menentukan arah perkembangan keagamaan anak-anaknya.

Hal pertama yang wajib dilakukan orang tua adalah menanamkan kesadaran pentingnya toleransi sejak di rumah. Orang tua harus mendidik anaknya menjadi individu yang militan dalam beribadah namun juga memiliki paradigma moderat dalam menghadapi perbedaan. Ini artinya, orang tua harus mendidik anaknya agar memiliki kesalehan individual dan sosial sekaligus.

Langkah kedua yang tidak kalah pentingnya adalah menyekolahkan anak di lembaga pendidikan yang berkomitmen pada nilai dan prinsip keindonesiaan yang mengakui serta menghormati kebinekaan.

Lembaga pendidikan agama tidak selalu berkarakter eksklusif dan intoleran. Banyak institusi pendidikan keagamaan yang berkomitmen pada ideologi kebangsaan, adaptif pada kearifan lokal, dan anti-kekerasan.

Di titik inilah, orang tua wajib jeli dalam memilih lembaga pendidikan keagamaan untuk anaknya. Jangan hanya terpikat tampilan luarnya saja, namun harus memahami betul kurikulum dan model pembelajarannya.

Bagi masyarakat Indonesia yang relijius, pendidikan agama masih menjadi salah satu pilar pendidikan karakter. Bagaimana pun juga, kita tidak bisa menampik fakta tersebut. Meski demikian, masyarakat terutama para orang tua harus memiliki kesadaran bahwa pendidikan agama tidak sekadar mendoktrin anak dengan klaim-klaim kebenaran yang eksklusif. Pendidikan agama idealnya juga didesain untuk menumbuhkan sikap empati terhadap kelompok lain.

Facebook Comments