Peran Keluarga sebagai Benteng Pertama dalam Mencegah Terorisme Digital

Peran Keluarga sebagai Benteng Pertama dalam Mencegah Terorisme Digital

- in Narasi
2
0

Keluarga selalu menjadi ruang pembentukan nilai paling awal dalam kehidupan seorang anak. Namun, dalam era digital yang bergerak lebih cepat daripada kemampuan banyak orang tua untuk mengawasinya, peran keluarga menghadapi tantangan baru yang jauh lebih kompleks. Terorisme tidak lagi selalu hadir melalui jaringan tertutup, doktrin keagamaan yang mengakar, atau pertemuan rahasia. Kini, banyak anak terpapar paham kekerasan dan ekstremisme hanya melalui gawai yang mereka pegang setiap hari—seringkali tanpa sepengatahuan orang tua. Fenomena ini menandai perubahan besar dalam lanskap radikalisasi, dan menegaskan bahwa keluarga memiliki posisi strategis untuk menjadi benteng pertama dalam pencegahan.

Kasus-kasus terbaru yang ditemukan Densus 88 misalnya, mengungkap lebih dari seratus anak terpapar paham radikal melalui media sosial dan game online. Sebagian dari mereka bahkan sudah diarahkan untuk melakukan aksi teror. Fakta ini sangat mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa kelompok ekstremis tidak lagi menunggu anak tumbuh dewasa, tetapi secara aktif menyasar mereka sebagai target rekrutmen dini. Anak yang belum matang secara emosional, belum stabil dalam identitas diri, dan belum memiliki kemampuan menyaring informasi adalah sasaran paling empuk bagi manipulasi digital.

Di sinilah keluarga memainkan peran yang tidak tergantikan. Orang tua bukan sekadar penjaga fisik, tetapi juga penjaga ekologi psikologis dan digital yang membentuk cara anak memaknai dunia. Tantangannya, banyak orang tua tidak menyadari bahwa proses radikalisasi masa kini dapat berlangsung diam-diam, melalui percakapan pribadi di platform gim, kanal video ekstrem, atau algoritma media sosial yang terus menyodorkan konten kekerasan. Anak yang terlihat biasa saja di rumah ternyata bisa menyimpan dunia lain di layar ponselnya.

Pengawasan dalam konteks ini bukan berarti memata-matai secara berlebihan, tetapi membangun hubungan yang membuat anak merasa aman untuk bercerita. Ikatan emosional yang kuat adalah penangkal paling ampuh terhadap ideologi ekstrem, karena anak yang merasa diperhatikan dan dihargai cenderung lebih tahan terhadap manipulasi. Banyak pelaku kekerasan ekstrem di berbagai negara ternyata memiliki pola yang sama pada masa remaja: rasa terasing, tidak didengar, dan mencari identitas di ruang digital yang penuh narasi kebencian.

Selain ikatan emosional, literasi digital menjadi kunci penting. Orang tua perlu memahami dasar-dasar mekanisme algoritma, risiko permainan online, hingga modus propaganda ekstremis. Tanpa literasi digital, orang tua kehilangan kemampuan untuk membaca tanda-tanda bahaya: perubahan perilaku mendadak, ketertarikan pada konten kekerasan, kecenderungan menyendiri, atau penggunaan istilah-istilah tertentu yang terkait kelompok ekstrem. Peningkatan literasi digital ini bukan hanya untuk mengawasi anak, tetapi agar keluarga mampu menciptakan percakapan kritis mengenai apa yang mereka lihat di dunia maya.

Keluarga juga berperan sebagai ruang pembentukan nilai dasar: empati, toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan kemampuan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Nilai-nilai ini adalah vaksin moral yang mencegah anak tertarik pada ideologi kekerasan. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan penuh kasih dan dialog terbuka cenderung memiliki daya tahan lebih tinggi terhadap bujuk rayu kelompok ekstrem yang menjanjikan identitas, keberanian palsu, atau heroisme semu.

Tentu keluarga tidak bisa bekerja sendirian. Sekolah, masyarakat, dan negara harus memperkuat ekosistem pencegahan. Namun, peran keluarga tetap krusial karena proses radikalisasi digital sering terjadi di ruang privat: kamar tidur anak, ponsel pribadi, atau headset gim online. Tanpa keterlibatan aktif keluarga, celah radikalisasi itu akan tetap terbuka.

Pada akhirnya, pencegahan terorisme di era digital bukan hanya soal keamanan nasional, tetapi tentang bagaimana keluarga menjaga masa depan anak mereka sendiri. Ketika keluarga hadir sebagai ruang aman, ruang dialog, dan ruang pendidikan nilai, maka peluang kelompok ekstrem untuk merampas imajinasi anak menjadi jauh lebih kecil. Keluarga yang terlibat, melek digital, dan hangat adalah benteng pertama—dan sering kali yang paling efektif—dalam menghentikan tumbuhnya benih kekerasan di tengah masyarakat.

Facebook Comments