Sering kali, umat Islam merasa ragu ketika harus berhadapan dengan perbedaan. Bukan hanya dalam cara pandang, tetapi dalam praktek nyata. Ada keyakinan yang salah kaprah bahwa bergaul secara bersahabat dengan mereka yang berbeda agama dapat melunturkan iman. Tak sedikit juga yang beranggapan bahwa membantu umat lain dalam perayaan tertentu, seperti menjaga gereja saat Natal, dianggap mendukung kesyirikan atau kekafiran.
Narasi semacam ini menciptakan ketakutan yang menghalangi umat Islam untuk berinteraksi dengan cara yang lebih damai dan penuh kasih. Ada ganjalan keyakinan yang melekat dalam diri umat. Alih-alih masalah menjaga gereja, hanya persoalan ucapan Selamat Natal seolah menjadi perdebatan nasional yang tidak pernah ada kata usai.
Sejarah Islam memberikan pelajaran yang berbeda. Praktek Nabi dan para sahabat memberikan pelajaran ketidakraguan dan ketakutan dalam menjumpai perbedaan. Salah satu contoh yang sangat fenomenal adalah terkait Perjanjian Najran. Proses dan hasil perjanjian ini patut menjadi pelajaran bagi umat Islam yang masih memiliki keraguan, apa benar Islam setoleran itu? Apa benar toleransi Islam tidak kebablasan?
Bermula dari Dialog Hangat dalam Keintiman Iman
Kisah ini bermula dari kedatangan delegasi Nasrani Najran ke Madinah untuk berdialog dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam diskusi tersebut, mereka membicarakan perbedaan pandangan tentang keesaan Allah, Yesus, dan konsep ketuhanan. Meski terjadi perdebatan hangat, suasana tetap dihiasi dengan rasa saling menghormati. Tidak ada kata sepakat, bukan berarti harus saling menghujat.
Hal menarik terjadi saat waktu ibadah tiba. Para utusan Nasrani ini meminta izin untuk melaksanakan doa mereka. Nabi Muhammad SAW tidak hanya memberi izin, tetapi juga mengizinkan mereka menggunakan Masjid Nabawi untuk beribadah. Kejadian ini mungkin sulit dibayangkan di masa sekarang, ketika toleransi semacam itu sering disalahartikan sebagai “kebablasan.”
Namun, sikap Nabi menunjukkan bahwa menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari keimanan. Nabi tidak merasa imannya terganggu atau tercemar hanya karena mengizinkan orang yang berbeda keyakinan untuk beribadah di tempat yang suci bagi umat Islam.
Bayangkan jika kejadian seperti itu terjadi di masa kini. Bagaimana netizen akan sibuk mengomentari kejadian tersebut. Bayangkan sekedar kunjungan Paus kemaren saja sudah membuat panas bagi yang tidak suka toleransi. Sekedar bangunan terowongan saja, harus dihebohkan sedemikian parahnya.
Nabi justru mengizikan mereka beribadah di masjid. Bayangkan kehebohan netizen jika itu terjadi di masa kini. Bisa jadi trending berbulan-bulan. Bisa pula dimakan narasi kebencian oleh kelompok yang sangat tidak suka keintiman dalam beragama.
Isi Perjanjian Najran : Toleransi Itu Menjaga dan Melindungi
Hasil dari dialog tersebut adalah lahirnya Perjanjian Najran, sebuah piagam yang memberikan perlindungan penuh kepada komunitas Nasrani Najran. Isi perjanjian ini mengatur hak dan kewajiban mereka, termasuk jaminan kebebasan beragama dan perlindungan keamanan.
Salah satu bagian penting dari perjanjian itu berbunyi:
“Bagi para penganut agama Nasrani, bila mereka memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka atau satu kepentingan mereka dan agama mereka, bila mereka membutuhkan bantuan dari kaum Muslim, maka hendaklah mereka dibantu, dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebankan kepada mereka, tetapi dukungan untuk mereka demi kemaslahatan agama mereka, serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad SAW) kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.”
Bayangkan, Nabi Muhammad SAW tidak hanya melindungi mereka, tetapi juga memastikan bahwa umat Islam membantu mereka jika dibutuhkan. Bantuan itu bahkan ditegaskan bukan sebagai utang yang harus mereka bayar, melainkan sebagai bentuk kasih sayang dan dukungan.
Pelajaran dari isi perjanjian tersebut memberikan ketegasan iman kepada umat Islam. Jangankan sekedar mengucap Selamat Natal, umat Islam juga dianjurkan untuk membantu jika umat Nasrani membutuhkan. Menjaga gereja saat perayaan Natal adalah bagian bentuk memberikan rasa aman dan nyaman, bukan membantu kesyirikan dan kekafiran seperti yang digemakan.
Toleransi bukan sekedar lakum dinukum w aliya diin. Prinsip ini jika dihadapkan pada ajakan saling bertukar iman. Namun, toleransi saling bekerjasama, melindungi dan saling menjaga adalah praktek toleransi dalam memberikan rasa aman. Tidak perlu diragukan lagi tentang keabsahan dalil toleransi dalam wujud saling membantu tersebut.
Pelajaran Toleransi dari Nabi
Dari peristiwa ini, ada beberapa pelajaran besar yang bisa diambil oleh umat Islam:
Pertama, toleransi adalah bagian dari keimanan. Toleransi bukan tanda lemahnya iman, melainkan bukti kekuatannya. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh nyata bagaimana kita bisa menjaga keimanan sambil tetap bersikap adil dan penuh kasih kepada mereka yang berbeda agama.
Kedua, memberikan bantuan tidak menggoyahkan iman. Ketakutan bahwa membantu umat lain dalam perayaan keagamaan mereka sama dengan mendukung kesyirikan adalah pandangan yang kurang tepat. Nabi justru menganjurkan umat Islam untuk membantu umat lain, termasuk dalam urusan ibadah mereka, seperti memperbaiki tempat ibadah mereka.
Ketiga, keamanan dan kebebasan beragama adalah hak semua umat. Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa melindungi dan menjamin kebebasan beragama adalah tanggung jawab umat Islam. Menjaga gereja saat perayaan Natal, misalnya, adalah tindakan yang sejalan dengan sunnah Nabi dan perjanjian yang beliau buat dengan umat Nasrani Najran.
Ketakutan berlebihan untuk menjalin hubungan baik dengan mereka yang berbeda keyakinan justru bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah tindakan kita mencerminkan teladan Nabi atau malah didasarkan pada ketakutan yang tidak beralasan?
Dengan memahami Perjanjian Najran, umat Islam dapat belajar untuk lebih percaya diri dalam menunjukkan sikap toleransi yang sejati. Toleransi bukan tentang menyerahkan iman, melainkan tentang meneguhkan iman melalui penghormatan kepada cara Allah menciptakan manusia dalam keberagaman.