Kisah Toleransi Tiga Agama di Momen Natal dari Lereng Merbabu

Kisah Toleransi Tiga Agama di Momen Natal dari Lereng Merbabu

- in Kebangsaan
1
0
Kisah Toleransi Tiga Agama di Momen Natal dari Lereng Merbabu

Barangkali, polemik ihwal Natal itu hanya ada di kepala kaum konservatif saja. Mereka memang tidak ingin umat agama lain merayakan hari besar dengan suka-cita dan khidmat. Ironisnya, upaya mereka memprovokasi dan “mengganggu” perayaan Natal tidak berhasil. Natal berjalan aman dan damai penuh khidmat.

Di media sosial, ramai unggahan perayaan Natal di sejumlah daerah yang berlangsung aman dan damai. Di banyak wilayah, umat Islam menunjukkan kontribusinya untuk menjamin pelaksanaan ibadah Natal berjalan aman dan damai. Narasi kaum konservatif yang cenderung ingin mengganggu kekhidmatan Natal kalah oleh narasi kaum moderat yang menebarkan pesan toleransi.

Di tengah kegembiraan umat Kristen merayakan Natal itu, jagat media sosial diramaikan oleh video yang diunggah oleh akun Instagram @infokabarsalatiga. Video itu merekam adegan sekelompok orang terngah bersalam-salaman layaknya hari Lebaran. Dalam keterangan yang ditulis di caption unggahan, video itu diambil di Dusun Thekelan, Kecatamatan Getasan, Kabupaten Salatiga, Jawa Tengah.

Masyarakat yang bersalaman itu adalah umat Budha dan umat Islam yang sengaja mendatangi umat Kristen yang usai melakukan ibadah misa untuk mengucapkan selamat Natal. Terekam jelas dalam video dimana masyarakat, laki-laki, perempuan, dan anak-anak saling berjalan beriringan dan menyalami umat Kristen. Uniknya, banyak di antara bapak-bapak yang mengenakan sarung dan peci hitam layaknya tengah merayakan lebaran.

Untuk mengonfirmasi kebenaran video tersebut, saya pun mengirim pesan melalui direct message Instagram ke akun yang pertama kali mengunggah video tersebut, yakni @adi-widhana. Lelaki yang bernama asli Adi Widhana itu membenarkan bahwa video itu dia yang merekam dan mengunggah pertama kali. Adi juga bercerita bahwa itu sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun dan tidak hanya terjadi di momen Natal saja.

Dia menuturkan bahwa di desa itu hidup tiga komunitas agama, yakni Islam, Kristen, dan Budha. Pada setiap perayaan hari besar keagamaan, semua masyarakat ikut merayakan dengan saling mengucapkan selamat dan sekadar berkunjung ke rumah untuk menikmati hidangan. Ketika Natal, umat Islam dan Budha akan berkunjung ke gereja usai ibadah untuk mengucapkan selamat.

Ketika umat Budha merayakan Waisak, giliran umat Islam dan umat Kristen mengunjungi Wihara untuk mengucapkan selamat. Dan ketika Idulfitri, umat Kristen dan Budha ikut berkeliling kampung masuk ke rumah-rumah warga muslim untuk berlebaran.

Saya pun meluncur ke mesin pencari google untuk memastikan dan mencari tambahan informasi atas cerita tersebut. Benar saja, sudah banyak media massa yang meliput fenomena tersebut. Media detik.com misalnya menulis berita dengan judul “Indahnya Toleransi, Halal bi Halal Lintas Agama di Dusun Thekelan Salatiga”. Sedangkan kompas.id menulis feature dengan judul “Indahnya Toleransi di Dusun Tertinggi”. Dua berita dari media nasional itu menyoroti praktik toleransi di desa Thekelan, Getasan, Salatiga.

Toleran Adalah Cultural-DNA Bangsa Indonesia

Jika merujuk pada penelitian Setara Institute, Salatiga merupakan kota dengan indeks toleransi tertinggi kedua di Indonesia. Hanya terpaut satu tingkat di bawah Kota Singkawang. Salatiga secara kontur demografis memang dihuni oleh masyarakat yang plural. Umat Islam sebagai mayoritas hidup berdampingan dengan komunitas Kristen yang juga besar. Ditambah komunitas Budha-Jawa yang mirip dengan komunitas suku Tengger di Jawa Timur (Kusumandaru: 2020).

Salatiga, kota kecil yang ada di lereng Gunung Merbabu, patut menjadi semacam laboraturium toleransi. Tempat kita belajar tentang bagaimana praktik toleransi itu diterapkan. Toleransi yang tidak dibangun di atas teori-teori yang muluk-muluk, namun acapkali sulit dipahami masyarakat awam. Masyarakat Salatiga mempraktikkan toleransi dengan basis kesadaran bahwa mereka semua hakikatnya sama-sama manusia.

Di tengah maraknya narasi intoleran yang dipropagandakan kaum konservatif-radikal praktik toleransi tiga agama di Salatiga ini menjadi semacam oase sekaligus oase penyemangat. Melihat praktik toleransi tiga agama di Salatiga itu kita patut optimistik bahwa bangsa ini belum kehilangan karakternya sebagai komunitas yang toleran.

Karakter asli bangsa Indonesia sejatinya adalah toleran. Sejak zaman Nusantara, nenek-moyang kita dikenal memiliki karakter yang inklusif, terbuka dengan perbedaan. Itulah mengapa Islam bisa menyebar di Nusantara tanpa melalui kekerasan dan perang. Salah satu faktor islamisasi damai itu karena karakter masyarakat Nusantara yang inklusif dan toleran pada ajaran agama yang berbeda.

Virus intoleransi itu mulai merebak pasca penetrasi gerakan dan ideologi keagamaan transnasional membanjiri Indonesia. Itu artinya, sikap intoleran itu bukan asli Indonesia. Perilaku intoleran itu bukan cultural DNA masyarakat Nusantara. Maka, prasyarat menjadi manusia Indonesia yang hakiki itu adalah memiliki jiwa toleransi (beragama) yang tinggi.

Facebook Comments