Transformasi Jihad Santri dari Fase Kolonial ke Era Digital

Transformasi Jihad Santri dari Fase Kolonial ke Era Digital

- in Narasi
413
0
Transformasi Jihad Santri dari Fase Kolonial ke Era Digital

Jauh sebelum antroplog Clifford Geertz membagi kelompok muslim Jawa ke dalam tiga golongan (santri, abangan, priyayi) istilah santri sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat. Istilah santri merujuk pada murid-murid yang tinggal di asrama atau pesantren untuk menuntut ilmu agama langsung dari guru (ulama atau kiai).

Jika ditarik mundur lagi, kata santri konon berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta, Shastri yang maknanya adalah orang yang belajar kitab suci agama Hindu. Adriyanto (2021) menjelaskan bahwa kata santri juga memiliki konotasi politis di zaman kolonial.

Penjajah cenderung alergi pada santri karena mereka adalah motor penggerak perlawanan terhadap pemerintah kolonial di berbagai daerah. Sejarah mencatat, perlawanan terhadap kolonial di berbagai daerah memang lahir dari inisiatif kiai dan santri yang bersekutu dengan masyarakat untuk melawan penjajah.

Puncak keterlibatan santri dalam perjuangan revolusi kemerdekaan terjadi pada penghujung tahun 1945. Kala itu, Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun, baru seluruh jagung usia Republik Indonesia, penjajah Belanda berniat menguasai wilayah Indonesia dengan agresi militer jilid 2 yang membonceng tentang Inggris.

Surabaya yang menjadi pintu masuk Pulau Jawa menjadi ajang pertempuran dahsyat selama 21 hari. Di tengah perang dahsyat itulah muncul Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama yang digagas oleh Hadratussyaikh Hasyim Asyari. Resolusi itu secara garis besar berisi seruan jihad kepada seluruh laki-laki dalam radius 25 km persegi dari arena peperangan untuk ikut berjuang mengangkat senjata melawan penjajah.

Episode kedua jihad santri adalah ketika terjadi peristiwa politik tahun 1965 yang berbuntut pada munculnya tragedi kemanusiaan. Peran santri kala itu adalah berada di barisan depan membela NKRI dan Pancasila dari rongrongan ideologi ekstrem kiri (sosialisme-komunisme). Di lapangan, kaum santri bersekutu dengan militer dalam menghalau kelompok ekstrem kiri yang mendalangi gerakan kudeta berdarah.

Dari dua peristiwa tersebut (revolusi 45 dan gejolak 65) kita melihat bagaimana peran santri bertransformasi. Yakni dari melawan kolonialisme dan mengobarkan nasionalisme ke arah penguatan ideologi kebangsaan. Kini, memasuki era digital spirit jihad santri idealnya juga mengalami transformasi.

Di era sekarang, ketika dunia berada di fase dirupsi, mengidentifikasi musuh kebangsaan bukan hal yang mudah. Musuh bangsa saat ini tidaklah selalu tampak dalam wujud fisik, melainkan berkamuflase dalam berbagai bentuk. Musuh yang tidak tampak (invisible enemy) ini mengemuka dalam sejumlah fenomena.

Antara lain, fenomena banjir informasi di media digital yang membuat publik acapkali sukar membedakan antara fakta dan rekayasa. Era disrupsi juga menghadirkan tantantan terkait maraknya penyebaran ideologi keagamaan transnasional yang anti-kebangsaan.

Terakhir, era disrupsi digital diwarnai fenomena akibat isu politik, sosial, atau agama yang menjadi polemik publik. Di era disrupsi, setiap isu nyaris selalu melahirkan polemik yang berujung pada debat kusir nirfaedah yang dibumbui narasi provokasi dan pecah-belah.

Jihad Kontemporer di Era Disrupsi

Di tengah era disrupsi yang penuh sengkarut persoalan ini, relevan kiranya menghadirkan kembali jihad santri. Di era disrupsi ini, peran santri tetap vital untuk menjaga bangsa dari kehancuran akibat musuh-musuh yang tidak tampak.

Secara konkret, jihad santri di era disrupsi ini idealnya diarahkan ke dalam setidaknya tiga hal. Pertama, di ranah digital, santri idealnya aktif memproduksi dan mendistribusikan konten-konten dengan narasi yang mencerahkan, menyejukkan, dan mempersatukan umat.

Citra santri sebagai kaum tradisional yang anti-teknologi dan alergi pada modernitas harus diubah. Santri harus ambil bagian dalam percaturan wacana keagamaan di media digital, terutama untuk menjernihkan berbagai macam hoaks tentang isu sosial, politik, dan keislaman.

Santri idealnya mampu tampil sebagai opinion maker, influencer, atau key opinion leader di media sosial dengan narasi keagamaan toleran dan moderat. Ke depan, kaum santri perlu lebih banyak berperan di ranah sosial-politik dengan menempati posisi-posisi strategis di masyarakat.

Kedua, di ranah kebangsaan kaum santri diharapkan mampu menjadi tameng sekaligus pilar bangsa dari penetrasi ideologi keagamaan transnasional yang anti-NKRI dan anti-Pancasila. Jihad santri di era disrupsi bukanlah mengangkat senjata layaknya di era revolusi kemerdekaan. Melainkan aktif memproduksi gagasan keislaman yang menyokong praktik toleransi dan moderasi beragama.

Ketiga, ketika bersinggungan dengan isu-isu aktual yang sensitif dan potensial mengundang polemik, santri idealnya bisa menjadi aktor penjernih yang bersikap rasional dan kritis. Ketika umat terjebak dalam debat kusir ihwal isu-isu aktual, seperti isu Palestina atau isu Pilpres 2024, santri idealnya tidak ikut ke dalam arus provokasi dan pecah-belah.

Sebaliknya, santri harus hadir dengan perspektif pemikiran yang rasional dan kritis sehingga umat terhindar dari polarisasi. Dalam isu Palestina misalnya, santri idealnya tidak terjebak dalam narasi kaum radikal yang mengklaim perjuangan palestina sebagai jihad mendirikan khilafah. Sebaliknya, kaum santri seharusnya bisa meyakinkan umat bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah wujud nasionalisme dan patriotisme.

Facebook Comments