Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

- in Tokoh
2
0
Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika sosial di masyarakat. Mereka misalnya mengatakan, “syariat adalah solusi umat” atau “khilafah adalah jawaban konflik Palestina”, dan sebagainya.

Tesis tersebut bukan hendak mendiskreditkan fungi agama, tetapi menggarisbawahi betapa kaku dan sempitnya penalaran kelompok radikal eksremis. Agama yang dimaksud di atas adalah sisi-sisi normatif yang tidak menyentuh langsung substansi keagamaan yang diajarkan Nabi.

Di satu sisi, tidak ada yang memungkiri bahwa agama adalah sumber kebenaran. Tetapi di sisi lain, Tuhan memberikan potensi nalar kepada manusia sebagai sumber pengetahuan yang lain. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan dipertentangkan. Dalam bahasa Kuntowijoyo, paradigma ini disebut dengan teo-antroposentris.

Teo-antroposentris meniscayakan integrasi antara agama dan kehidupan, agama dan ilmu pengetahuan, yang kemudian menghasilkan ilmu integralistik. Dalam perspektif ini, agama dipandang bukan hanya sebagai sekumpulan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan sebagai sistem nilai yang mengatur interaksi antarmanusia.

Kuntowijoyo sering kali menyoroti pentingnya transformasi sosial berbasis nilai-nilai transenden yang membawa perbaikan bagi umat manusia. Pendekatan teo-antroposentris memberikan ruang bagi pemahaman bahwa keberagamaan sejati bukanlah soal mengutamakan simbol-simbol semata, tetapi menekankan kemaslahatan manusia sebagai wujud nyata dari keberimanan.

Menyerap semangat kritis Kuntowijoyo berarti menyadari bahwa agama harus menjadi pendorong bagi transformasi sosial yang positif. Teo-antroposentrisme adalah jalan untuk menempatkan agama kembali ke dalam konteks kemanusiaan, di mana nilai-nilai ketuhanan diterjemahkan menjadi aksi nyata yang memajukan perdamaian dan keadilan.

Dengan pendekatan ini, radikalisme dan ekstremisme dapat ditantang tidak hanya dengan argumen teologis, tetapi juga dengan bukti bahwa praktik keberagamaan yang sehat menciptakan dunia yang lebih damai dan manusiawi.

Menjelang momentum politik, seperti pemilu, narasi yang mengedepankan identitas keagamaan sering kali muncul ke permukaan. Hal ini bisa berpotensi memicu ketegangan sosial ketika agama digunakan sebagai alat pembenaran untuk menyerang lawan politik atau menguatkan basis dukungan dengan mengorbankan persatuan nasional.

Pemikiran radikal dan ekstrem dapat berkembang dalam situasi ini, di mana polarisasi berdasarkan keyakinan agama semakin menguat dan berisiko menurunkan kepercayaan antar komunitas.

Teo-antroposentrisme hadir sebagai jawaban untuk menghadapi tantangan ini. Dengan pendekatan ini, agama tidak hanya dipahami dalam kerangka klaim kebenaran yang sempit, tetapi juga diresapi sebagai ajaran yang mengutamakan kemaslahatan manusia.

Indikasi kaum puritan terlihat pada lenyapnya kemampuan daya pikir manusia dalam takdir dan kuasa Tuhan. Kuasa Tuhan bagi kaum puritan lebih banyak direpresentasikan oleh teks.

Teks mempunyai peran yang besar dalam sistem teologi kaum puritan, segala bentuk tafsir yang melibatkan penalaran non-linguistik dinilai sebagai bentuk penyelewengan dan mengancam otentisitas teks keagamaan. Inilah yang menimbulkan otoritarianisme keberagamaan.

Penyatuan ini tentu bukan dalam makna sebagaimana yang dikenal dalam dunia tasawuf, tetapi penyatuan yang bersifat formalistis-dogmatis. Manusia merasa menjadi juru bicara Tuhan yang absah dan menafikan segala bentuk tafsir yang berbeda dari ideologi kelompoknya.

Pola hubungan antara manusia dan Tuhan bagi kaum puritan bersifat formal, sederhana dan mudah dipahami. Mereka menolak pemikiran yang bersifat filosofis berkaitan dengan relasi manusia dan Tuhan. Tidak mengherankan pula jika dakwah kelompok puritan lebih mudah untuk diterima oleh khalayak.

Teologi formalitik ini bersifat hegemonik. Yang terjadi kemudian adalah klaim-klaim kebenaran dan kebaikan sembari menundukkan dialektika historis di bawah kungkungan nilai subyektif manusia. Ketundukan dalam konsepsi kaum puritan tersebut kemudian dibakukan dalam paket-paket hukum yang bersifat legalistik.

Ketundukan yang dibakukan dalam paket hukum legalistik ini menciptakan satu dimensi keberagamaan yang sempit dan eksklusif. Agama dalam pandangan ini terperangkap dalam labirin formalitas, mengunci potensi besar yang seharusnya dapat merangkul perbedaan dan memacu inovasi sosial.

Kuntowijoyo, dengan pendekatan teo-antroposentrisnya, menawarkan jalan keluar dari kebuntuan ini. Baginya, agama tidak hanya bertumpu pada aturan-aturan yang kaku, tetapi juga pada kesadaran manusia akan keberadaannya sebagai makhluk yang diberi akal untuk berpikir kritis dan bertindak bijaksana.

Dalam pendekatan teo-antroposentris, agama berperan sebagai katalisator yang mendorong manusia untuk melakukan refleksi mendalam, memahami kompleksitas dunia, dan terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.

Agama tidak hanya menjadi sumber hukum, tetapi juga pendorong moral yang membimbing manusia untuk menciptakan harmoni dan keadilan. Dengan demikian, agama menjelma menjadi kekuatan yang merangkul dan membebaskan, bukan menghakimi dan mengkotak-kotakkan.

Menghadapi tantangan radikal ekstremisme, pendekatan ini membuka peluang dialog yang lebih luas, di mana berbagai perspektif dapat bertemu dalam ruang yang saling menghargai. Agama, dalam bentuknya yang paling ideal, bukanlah instrumen yang mempertebal sekat-sekat sosial, melainkan menjadi jembatan yang menghubungkan antarindividu dan komunitas.

Kuntowijoyo menekankan bahwa transformasi sosial yang berlandaskan nilai-nilai transenden akan mampu menjawab problematika besar masyarakat modern. Pemikiran ini bukan sekadar kritik terhadap fundamentalisme, tetapi juga seruan agar manusia berani menjelajahi kedalaman agama dan akal untuk membangun peradaban yang berkeadilan.

Transformasi ini menegaskan bahwa keimanan sejati adalah yang menggerakkan manusia untuk berbuat baik, menebar rahmat, dan menghadirkan perdamaian di tengah keragaman.

Di akhir perjalanan pemikiran ini, kita menemukan bahwa keberagamaan yang mencerahkan adalah yang mampu menyelaraskan dua sisi esensial: keyakinan yang teguh kepada Tuhan dan kecakapan manusia dalam mengelola dunia.

Agama tidak lagi menjadi narasi yang memecah, melainkan energi yang menyatukan, menciptakan ruang untuk hidup bersama dalam kebersamaan yang penuh makna. Hanya dengan demikian, agama dapat memenuhi fitrahnya sebagai rahmat bagi semesta.

Facebook Comments