Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan pemimpin daerah yakni gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil wali kota secara serentak. Total daerah yang melaksanakan Pilkada tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota.
Bagaimanapun, pasca Pilpres kemarin masih ada kubu-kubu pendukung pasangan capres. Sekalipun pasangan Prabowo-Gibran telah sah sebagai presiden dan wakil presiden, namun faksi-faksi politik tentu masih kental. Fakta seperti ini adalah sebuah keniscayaan dengan syarat tidak diperuncing dengan nuansa kebencian.
Pasalnya, suasana kontestasi dengan kebencian mudah dimanfaatkan kelompok yang berkepentingan untuk “memancing di air keruh”. Atmosfer panasnya hiruk-pikuk Pilkada tahun ini bahkan sudah terasa sejak beberapa bulan yang lalu. Tidak saja di dunia nyata, tetapi juga diberbagai platform media sosial.
Ada beberapa potensi konflik yang sering muncul di setiap penyelanggaraan Pilkada. Hal ini didasari oleh fakta bahwa politik uang sangat kental mewarnai setiap momen Pilkada. Di samping itu, eskalasi pendukung calon dalam kompetisi Pilkada berjalan sangat ketat. Didasari dua hal tersebut konflik dalam Pilkada tidak hanya berpotensi terjadi pada para pendukung, juga bisa merambah terhadap penyelenggara Pilkada, baik di internal penyelenggara atau antar penyelenggara.
Dari sekian potensi konflik di atas yang paling berbahaya adalah konflik antar massa pendukung. Konflik seperti ini berpotensi mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa. Potensi terbesar konflik di arena masyarakat pendukung adalah isu agama atau politisasi agama. Masyarakat Indonesia yang berbasis religius dan agama akan sangat mudah terprovokasi oleh isu politik agama manakala tidak dilandasi oleh pikiran sehat dan normal.
Perlu disadari, politisasi agama rentan terjadi di mana saja dan kapan saja. Bagi pasangan calon di Pilkada kontestasi bukan hanya soal gengsi, melainkan bagaimana meraih kemenangan, dan cara apapun dilakukan. Menang dengan segala cara tidak mustahil dilakukan. Salah satu yang paling efektif adalah menyeret tokoh-tokoh agama dalam arus politik sebagai alat propaganda berjualan agama untuk politik.
Di sinilah baku hantam sering terjadi, disaat tokoh-tokoh agama memainkan perannya sebagai tim pemenangan. Tak pelak, dalil-dalil keagamaan dipakai sebagai justifikasi dalam upaya pemenang kontestasi. Hal ini menjadi penyebab masyarakat semakin tidak tercerahkan dalam konteks politik demokrasi, khususnya dalam persoalan relasi agama dan politik.
Kenapa Agama Sering Dipolitisasi?
Sebagaimana diketahui bersama, politik di Indonesia sangat mahal. Hal ini karena politik uang, suka atau tidak suka, harus diakui terjadi dengan eskalasi yang sangat tinggi. Karenanya, untuk menekan kos politik para kontestan mencari cara supaya lebih irit. Dan, yang paling efektif ternyata adalah politisasi agama.
Politisasi agama dilakukan dengan cara mengarahkan pemilih supaya tidak berpikir rasional. Yang dibutuhkan hanya tokoh-tokoh agama dengan fatwa keagamaan dan jaminan masuk surga. Bahwa, calon ini lebih agamis dan semacamnya. Masyarakat yang otaknya tercuci oleh propaganda isu politisasi agama tersebut tidak segan-segan mendukung dengan segala daya, bahkan dengan harta. Baginya, ini bukan hanya soal kontestasi, melainkan jihad dengan harta bahkan jiwa.
Begitulah, politisasi agama mampu memobilisasi pendukung secara murah dan mudah. Karena pola pikir masyarakat yang irasional tersebut, sehingga pertimbangan yang didahulukan bukan pada elektabilitas dan kapabilitas calon. Kriteria terabaikan demi dugaan kemaslahatan yang sebenarnya hanya dongeng dan tipu daya.
Tidak cukup sampai disini, ketegangan pasti terjadi. Kelompok pendukung yang telah terprovokasi oleh isu politik agama cenderung eksklusif. Kebenaran hanya dalam pandangan dan calon ideal hanya ada pada sosok yang didukungnya. Sehingga potensi konflik semakin terbuka lebar.
Lebih-lebih, manakala kelompok anti demokrasi memainkan propagandanya. Kontestasi politik di alam demokrasi akan semakin pelik dan berpotensi terjadinya konflik horizontal. Masyarakat yang telah termakan isu politik agama akan mudah dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis, salah satunya adalah propaganda demokrasi kufur dan sejenisnya.
Mudharat Politisasi Agama
Akibat dari politisasi agama adalah terbentuknya konstruksi masyarakat yang tak beradab. Agama yang semestinya hadir untuk mengatur manusia ke arah kehidupan yang beradab, santun dan saling menghormati, ditelikung untuk membenarkan tujuan politik tertentu serta menafikan esensi dari ajaran agama itu sendiri.
Agama yang dijadikan komoditas politik yang diperdagangkan untuk kepentingan kekuasaan berpotensi besar menciptakan kekacauan, mengancam persatuan, persaudaraan dan terciptanya permusuhan antar masyarakat bahkan di internal penganut agama tertentu.
Konflik, perseteruan dan bahkan penyesatan bisa terjadi gegara politik yang memanfaatkan agama. Pengalaman politik Indonesia telah memberikan pelajaran berarti, bagaiman seseorang bisa dituduh kafir gegara politik, dan bahkan ada juga yang haram janazahnya di sholati karena mendukung calon tertentu.
Politisasi agama menjadikan agama sebagai identitas dan simbol, tidak dalam maknanya yang lebih substantif. Selain itu, juga menafikan prinsip demokrasi, NKRI dan kemajemukan.
Sehingga, tokoh-tokoh agama dan para politikus di negeri ini sejatinya mengedepankan wawasan politik yang beradab serta jauh dari praktik politisasi agama. Kemudian disuarakan terhadap masyarakat akan bahaya praktik dari politisasi agama bagi negara dan kerukunan.