Rekontekstualisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Tubuh Ormas Keagamaan

Rekontekstualisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar di Tubuh Ormas Keagamaan

- in Keagamaan
8
0
Rekontekstualisasi Amar Ma'ruf Nahi Munkar di Tubuh Ormas Keagamaan

Pasca Reformasi, keterbukaan dan demokratisasi semakin menegaskan karakter-karakter ormas keagamaan di Indonesia. Salah satu yang meresahkan adalah munculnya aksi ‘vigilantisme’ berbaju keagamaan dalam tubuh ormas. Aksi ini tidak hanya mengorbankan harmoni sosial, tetapi juga mengorbankan ormas-ormas keagamaan lain yang notabene minoritas.

Misalnya, pada tahun 2021 lalu di Sintang, Kalimantan Barat beberapa waktu lalu. Terjadi perusakan bangunan dan tempat ibadah umat Ahmadiyyah oleh massa di sana. Mengutip laporan CNN Indonesia, Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dirusak oleh massa pada Jumat (3/9) siang.

Sebelumnya, masjid tersebut merupakan tempat ibadah yang digunakan oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) setempat. Ditengarai, perusakan bangunan tersebut merupakan buntut dari penyegelan sementara masjid oleh pemerintah kabupaten Sintang sejak 14 Agustus 2021 hingga akhirnya ditutup secara permanen melalui surat edaran yang keluar pada 27 Agustus 2021.

Juru bicara JAI mengatakan bahwa surat edaran penutupan masjid tersebut muncul atas dasar desakan dari massa yang mengatasnamakan aliansi umat Islam. Ironis sekali. Pihak yang seringkali bertanggung jawab atas persekusi semacam ini adalah mereka yang mengatasnamakan Islam.

Jika ditelisik, persekusi terhadap Ahmadiyyah sudah terjadi berseri-seri. Pada 2018 lalu, terjadi persekusi Ahmadiyyah di NTB. Lebih gasik, persekusi juga terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten pada 6 Februari 2016 yang menewaskan tiga penganut Ahmadiyyah. Di tahun yang sama, tepatnya pada 23 Mei 2016, masjid Ahmadiyah di Desa Purworejo, Kendal, dirusak warga, dan masih banyak pelanggaran lainnya.

Pertanyaannya adalah mengapa justru “umat” Islam yang menjadi momok bagi kesejahteraan kehidupan beragama di Indonesia?

Untuk menjawabnya, kita perlu menyadari bahwa status Islam sebagai agama mayoritas bukan semata-mata menjadi nilai positif bagi masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu karena superioritas ini rentan dieksploitasi oleh oknum ormas yang mengatasnamakan Islam untuk memecah belah masyarakat.

Eksploitasi tersebut tercermin salah satunya dalam kasus perusakan tempat Ibadah di Sintang. Perusakan tersebut, secara implisit, telah melanggar dua hal fundamental. Pertama, dalam konteks legal, mereka yang mengaku merusak properti Ahmadiyyah atas dasar membela Islam pada kenyataannya telah menghianati amanat konstitusi tentang larangan untuk menghalang-halangi seseorang untuk melaksanakan kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah yang tertera dalam pasal 175 KUHP.

Jika kasus ini terus berlanjut di masa yang akan datang, umat Islam bisa dicitrakan sebagai umat yang tidak taat hukum akibat ulah oknum yang tak henti-hentinya melakukan pelanggaran. Lagi-lagi, dengan status sebagai agama mayoritas, citra itu tidak boleh terjadi, karena bagaimanapun Islam sudah menjadi identitas Indonesia.

Tidak menutup kemungkinan, citra Islam yang kurang baik akan berpengaruh terhadap cara pandang dunia terhadap Indonesia sebagai negara yang religius. Ajaran Ahmadiyyah yang bertolak belakang dengan ajaran Islam secara umum merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan.

Inilah yang kemudian menjadi musabab mengapa diskriminasi terjadi. Oknum ormas ini mengaku sedang menjalankan fungsi amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat. Mereka merasa mempunyai kewenangan mengatur moral dan akhlak masyarakat, mana yang sesuai dengan syariat, dan mana yang harus “diluruskan”.

Padahal, fungsi amar ma’ruf nahi munkar tidak sesederhana itu jika hendak diimplementasikan di tengah masyarakat yang majemuk. Syekh an-Nawawi Banten di dalam kitabnya, Tafsir Munir berkata,

Amar ma’ruf nahi munkar termasuk fardlu kifayah. Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat agar ia tidak tambah menjerumuskan orang yang diperintah atau orang yang dilarang dalam perbuatan dosa yang lebih parah. Karena sesungguhnya orang yang bodoh terkadang malah mengajak kepada perkara yang batil, memerintahkan perkara yang munkar, melarang perkara yang ma’ruf, terkadang bersikap keras di tempat yang seharusnya bersikap halus dan bersikap halus di dalam tempat yang seharusnya bersikap keras.”

Isu saat ini adalah sebagian masyarakat kita seperti tidak terbiasa dengan perbedaan perspektif. Oknum ormas ini selalu menggunakan kaca mata kuda dalam melihat sesuatu. Ini juga yang kemudian melahirkan fenomena ‘amar ma’ruf nahi munkar’ yang serampangan.

Sikap inilah yang kurang lebih juga menjawab mengapa persekusi di Indonesia seperti tidak ada hentinya. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang telah mendorong berbagai langkah moderasi beragama guna menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih harmonis perlu didukung oleh semua pihak, terutama para tokoh agama.

Di sisi lain, keberpihakan kita dengan ormas-ormas moderat juga dibutuhkan mengingat mereka lah yang menjadi penjaga persatuan bangsa sejak kemerdekaan.

Quran Surat Al-Furqan ayat 63 memberikan indikasi bagaimana konteks amar ma’ruf nahi munkar dalam masyarakat plural,

وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa jikapun kita bertemu dengan orang yang bertentangan dengan keyakinan kita, maka tetaplah bersikap baik. Dalam Tafsir al-Qur’an Tematik tentang Hubungan Antar Umat Beragama, disebutkan bahwa Allah menggunakan kata singular “salam”, yang berarti damai, yakni bebas dari ketakutan, kecemasan, serta bebas dari tindakan kekerasan.

Menurut Gus Dur, persekusi yang sering dilakukan oleh oknum umat Islam salah satunya disebabkan oleh pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri, terutama angkatan mudanya. Umumnya mereka hanya memahami interpretasi keagamaan secara tekstual, namun pemahaman terhadap substansi ajaran masih lemah. Tulisan ini, selain sebagai bahan evaluasi, juga sebagai pengingat bahwa kita jangan jumawa dengan status Islam sebagai mayoritas.

Kita harus menyadari bahwa sebagai agama dominan, Islam mampu mengontrol diskursus yang terjadi di masyarakat. Karena itu, aksi amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan secara bijaksana.

Ormas keagamaan yang berintegritas harus mendengungkan wacana yang mendamaikan, bukan meresahkan. Wacana untuk saling menghormati bukan menghakimi, wacana untuk saling mengayomi bukan mempersekusi.

Facebook Comments