Ruang Publik Toleransi Beragama

Ruang Publik Toleransi Beragama

- in Narasi
1584
0
Ruang Publik Toleransi Beragama

Ruang publik dalam beragama bisa difungsikan sebagai upaya mengatasi perbedaan-perbedaan dalam berbagai kepentingan umum serta mencapai satu kesepakatan bersama dalam ruang publik, terdapat kebebasan bersuara dan berpendapat. Ruang publik ini bisa dimaksudkan lembaga negara atau kementerian agama untuk terus menerus menjadi mediator di antara konflik agama yang muncul di dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, menjadi fasilitator dan pembimbing masyarakat agar hidup rukun dan damai, tanpa adanya perasaan dendam politik yang mengatasnamakan agama.

Ruang publik menjadi salah satu tawaran solusi untuk menyelesaikan problem politik dan keagamaan termasuk terkait dengan cara menciptakan keharmonisan antar agama yakni Islam, Kristen Katolik, Kristesn Protestan, Hindu dan Budha. Lebih dari itu, ruang publik ini dibentuk agar umat beragama mampu mengatasi masalahnya dengan cara saling memahami dan saling membentuk kemengertian di antara satu dengan yang lain.

Ruang publik dalam beragama ini menjadi momentum yang tepat sekali ditengah persoalaan keagamaan yang seringkali muncul, seperti intoleransi beragama bahkan karena hanya perbedaan keyakinan dan aliran saja bisa menimbulkan pertengkaran antar satu dengan yang lain. Oleh karena itu, fungsi adanya ruang publik dalam berpolitik dan beragama ini agar seluruh elemen umat Islam dan mereka yang sedang konflik beragama terutama terkait dengan pendirian tempat Ibadah atau perbedaan keyakinan untuk turut serta hadir dalam ruang publik atau forum dan lembaga yang dimediasi oleh kementerian agama.

Ruang publik itu secara fungsi sosial menjadi arena dalam rangka mengadakan dialog antar agama, untuk mengatasi persoalan-persoalan keumatan saat ini, sehingga memunculkan satu pemahaman dan kesepakatan, atau opini publik secara bersama. Dengan begitu, diharapkan adanya kerukunan dan keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam ruang publik merupakan asas demokrasi berpolitik dan beragama” karena hanya di sini, melalui penalaran hadirin, pendapat-pendapat pribadi merubah menjadi ”opinion publique” yakni pendapat umum. Ruang publik ini dibentuk dengan kemungkinan untuk mewakili kepentingan umum. Dengan adanya ruang publik ini diharapkan bisa digunakan untuk menunjang pada sikap saling menghargai dan saling menghormati di antara perbedaan umat yang lainnya dalam memeluk agama dan keyakinannya.

Dengan langkah konstruktif yang harus diambil melalui ruang publik, yakni ruang dialog perdamaiaan antar umat beragama karena dengan itu akan membawa masyarat yang beragama ke arah pemahaman yang utuh tentang diri dan komunitasnya. Dengan begitu, diperlukan dorongan bagi terciptanya dialog kreatif yang akan membawa setiap pemeluk agama ke arah yang lebih terbuka, toleran dan saling menghormati satu sama lain pendapat politik lainnya.

Untuk mencapai konsensus dalam menyelesaikan konflik sosial keagamaan maka diperlukan. Pertama, ketepatan dalam mengungkapkan sesuatu, setiap orang harus benar-benar mengemukakan kebenaran. Mengemukakan kebenaran ini adalah suatu penanda bahwa setiap agama masing-masing memiliki keyakinan dan ajaran yang dipegangnya sehingga memperoleh kebenaran. Karena itu, dapat diinterpetasikan bahwa kebenaran dalam agama bersifat relatif, dan hal ini tidak boleh dijadikan alat pemicu konflik, sesungguhnya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap ajaran agama menjadi alat persatuan dan kesatuan dalam beragama.

Kedua, setiap pemeluk agama yang ada dalam ruang dialog antar umat beragama, harus benar-benar saling tulus dan bersungguh-sungguh dalam menjalin relasi di antara perbedaan ideologi dalam berpolitik agama (different of religion) untuk saling menyapa dan menjalin tali kasih sayang antar umat beragama.

Ketiga, dalam ruang dialog antar agama setiap masing-masing agama harus mengedepankan rasionalitas komunikatif, dalam menjunjung tinggi tingkat kejujurannya, bahwa fakta memang di dunia ini ada beragam agama, dan masing-masing harus saling menghormati dan menghargai setiap ritual dan ajaran yang dilakukan oleh setiap agama, selain itu paradigma komunikasi perlu dikedepankan dalan intereligius dialogue.Prinsip komunikasi antara umat beragama dinyatakan tercapai apabila antar pemeluk agama itu saling mengerti. Rasionalitas komunikatif dalam dialog antar umat beragama ditujukan agar dalam menjalin hubungan antar beragama itu bebas dari tekanan dan intervensi serta dominasi.

Karena itu, konflik sosial-keagamaan mengenai permasalahan pembakaran Tempat Ibadah, ujaran kebencian, intoleransi beragama harus dilakukan dengan Praksis komunikatif. Sebuah konsensus dihasilkan melalui praksis komunikatif, tidak bertumpu pada paksaan, yang dimaksudkan dengan paksaan bahwa setiap umat agama Islam maupun Kristen tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk harus mengikuti salah satu agama, dan menggangap bahwa agamanya yang paling benar. Dengan begitu, setiap pemeluk agama dapat menerima secara suka rela bahwa ternyata perebedaan agama-agama di Indonesia ini memang ada dan harus bersikap toleransi terhadap agama yang lain. Penalaran secara rasional komunikatif dilakukan dalam membuka ruang publik tanpa dominasi dengan selalu menekankan pada dialog antar agama. Semoga.

Facebook Comments