Bayangkan Budi, seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang baru memasuki taman kanak-kanak. Gurunya terkesan dengan rasa ingin tahu Budi yang besar, kemampuannya mengungkapkan perasaan sederhana, dan cara dia berbagi mainan dengan teman-temannya. Di balik kesiapan Budi, ada peran Ibu Wati, ibunya.
Sejak Budi bayi, Ibu Wati sering mengajaknya bicara meski Budi belum bisa merespons, mengenalkannya pada warna melalui buah-buahan di pasar, menyanyikan lagu anak-anak yang mengandung nasihat, dan selalu menenangkan Budi dengan sabar saat ia menangis sambil menjelaskan apa yang mungkin dirasakannya.
Ibu Wati tidak memiliki gelar pendidikan tinggi, namun interaksi sehari-hari yang penuh kesadaran dan kasih sayang inilah yang menjadi fondasi awal Budi dalam mengenal dunia, bahasa, emosi, dan nilai-nilai dasar. Kisah sederhana ini adalah contoh konkret betapa signifikan peran ibu sebagai “sekolah pertama” yang membentuk landasan sebelum institusi formal mengambil alih.
Kisah seperti Ibu Wati dan Budi bukanlah sekadar anekdot; peran sentral ibu di tahun-tahun awal kehidupan anak didukung kuat oleh berbagai teori psikologi dan sosial. Teori Kelekatan (Attachment Theory) dari John Bowlby, misalnya, menekankan bahwa ikatan aman dan responsif antara anak dengan pengasuh utamanya (seringkali ibu) adalah krusial untuk perkembangan rasa aman, kepercayaan diri, dan kemampuan eksplorasi anak. Anak yang merasa aman akan lebih berani belajar hal baru.
Sementara itu, Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) Albert Bandura menjelaskan bahwa anak belajar banyak hal—termasuk bahasa, perilaku, dan norma sosial—melalui observasi dan imitasi terhadap model di sekitarnya, dan ibu adalah model paling awal dan paling intensif. Dari perspektif perkembangan saraf, tahun-tahun pertama kehidupan adalah periode emas di mana stimulasi yang tepat dari lingkungan terdekat, terutama melalui interaksi dengan ibu, sangat memengaruhi arsitektur otak dan potensi belajar anak di masa depan.
Melihat peran fundamental ini, sangatlah penting untuk memastikan perempuan memiliki bekal yang cukup untuk menjadi “sekolah pertama” yang efektif. Bekal ini tidak hanya didapat dari pengetahuan pengasuhan secara langsung, tetapi juga dari pengalaman hidup yang luas. Oleh karena itu, membatasi ruang gerak perempuan hanya pada ranah domestik justru dapat mengurangi kualitas perannya sebagai pendidik pertama.
Perempuan yang memiliki akses ke pendidikan, kesempatan kerja, partisipasi dalam organisasi sosial atau komunitas, dan ruang untuk menyuarakan pendapatnya akan memiliki wawasan yang lebih luas, keterampilan pemecahan masalah yang lebih terasah, kepercayaan diri yang lebih tinggi, dan jaringan sosial yang lebih kuat. Semua pengalaman ini secara tidak langsung akan memperkaya “kurikulum” yang bisa ia tawarkan kepada anaknya di rumah, memberinya perspektif dunia yang lebih beragam, dan menjadikannya panutan yang lebih berdaya. Pembatasan di ruang publik berarti membatasi sumber belajar dan pengalaman sang “guru pertama”.
Namun, realitanya tidak semua perempuan mendapatkan kondisi ideal untuk menjalankan peran vital ini. Bayangkan seorang ibu muda yang hidup dalam kemiskinan, kurang gizi, tidak mendapat dukungan emosional maupun praktis dari pasangan atau keluarga, minim akses terhadap informasi pengasuhan yang benar, dan mungkin juga mengalami tekanan psikologis atau kelelahan kronis.
Dalam situasi seperti ini, meskipun ia tetap menjadi “sekolah pertama” bagi anaknya secara de facto, “sekolah” tersebut beroperasi dalam kondisi yang sangat sulit. Energi dan fokusnya mungkin terkuras untuk sekadar bertahan hidup, menyisakan sedikit ruang untuk interaksi berkualitas, stimulasi yang kaya, atau kesabaran ekstra yang dibutuhkan dalam mendidik anak usia dini. Ia mungkin menjalankan perannya dengan sumber daya (fisik, mental, pengetahuan) yang sangat terbatas.
Situasi tanpa dukungan ini membawa dampak signifikan yang berantai. Bagi anak, kurangnya stimulasi dan interaksi positif di tahun-tahun awal dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan kognitif, bahasa, dan sosial-emosional. Mereka mungkin masuk sekolah formal dengan kesiapan yang kurang optimal, kesulitan beradaptasi, dan berisiko lebih tinggi mengalami masalah belajar atau perilaku.
Ikatan antara ibu dan anak pun bisa terganggu jika ibu terlalu stres atau tidak responsif. Bagi sang ibu sendiri, kondisi ini dapat memperburuk kesehatan mentalnya, menimbulkan perasaan bersalah, tidak mampu, dan memperpanjang siklus kerentanan. Secara sosial, kegagalan memberikan dukungan yang memadai pada “sekolah pertama” ini berisiko melanggengkan siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan antargenerasi, serta mengurangi potensi sumber daya manusia di masa depan.
Melihat rangkaian hubungan ini menjadi jelas bahwa mendukung perempuan adalah kunci. Peran sebagai “sekolah pertama” bukanlah tugas ringan dan tidak seharusnya dibebankan pada perempuan seorang diri dalam kondisi terbatas. Investasi pada pendidikan, kesehatan (fisik dan mental), kesejahteraan ekonomi, serta penciptaan lingkungan sosial dan keluarga yang suportif bagi perempuan adalah langkah strategis yang paling mendasar untuk memastikan generasi penerus bangsa mendapatkan fondasi kehidupan terbaik. Memberdayakan perempuan, membuka aksesnya seluas mungkin di segala bidang, dan memberikan dukungan nyata dalam perannya mengasuh anak adalah bentuk investasi paling fundamental untuk masa depan keluarga, masyarakat, dan bangsa.