Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

- in Narasi
18
0
Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya agung (magnum opus) Freire yakni Pendidikan Kaum Tertindas (1970). Tentu kualitas isi dan daya sihir buku tersebut membuatnnya menjadi begitu terkenal sampai sekarang. Berbagai pemikir pendidikan ternama dunia sangat terinspirasi dari buku tersebut.

Di Indonesia, ide Paulo Freire turut mempengaruhi tokoh pendidikan kita yakni Romo. Mangunwijaya. Dari ide pendidikan yang membebaskan Paulo Freire, Rm. Mangunwijaya kemudian mendirikan sekolah eksperimental Mangunan di Jogjakarta yang sangat terkenal dan eksis sampai sekarang. Dari Freire, Rm. Mangunwijaya menyadari bahwa pendidikan adalah alat untuk mengembangkan bakat dan minat anat. Pendidikan melampaui model calistung (baca-tulis-hitung) yang sekedar memberikan pemahaman kognitif pada anak tanpa dasar afeksi dan kreatifitas yang kuat.

Di antara berbagai karya Freire, siapa menyangka bahwa ide pendidikan Paulo Freire juga berbicara signifikan bagi wacana perdamaian. Ide pendidikan bagi perdamaian tersebut secara tersirat nampak dalam karya Freire berjudul Pedagogi Pembebasan: Etika, Demokrasi, dan Keberanian Sipil yang terbit pada tahun 1996. Buku tersebut adalah sebuah refleksi Freire yang ia tulis selama menangani konflik antar negara di tanah Afrika semasanya menjabat sebagai tenaga ahli bidang pendidikan pada Dewan Gereja-Gereja Dunia.

Bagaimana Freire menghubungkan pendidikan dan perdamaian serta bagaimana cara agar keduanya dapat bekerja dalam konteks sekolah. Mari kita telusuri apa yang Freire ceritakan pada buku tersebut sekaligus relevansinya dalam sekolah eksperimental mangunan.

Prinsip-Prinsip Pendidikan dan Perdamaian

Pada buku Pedagogi Kebebasan, Freire menjelaskan bahwa kebebasan adalah dasar dari perdamaian. Orang bisa hidup damai apabila kita memberikan ruang pada orang lain untuk tumbuh sesuai kehendaknya masing-masing. Corak kedamaian tersebut, harus menjadi semangat dalam dunia pendidikan. Dalam skup yang lebih luas, ruang-ruang kebebasan di sekolah adalah miniature dalm kekebasan yang ada di Masyarakat luas. Ide kebebasan membuka ruang bagi wacana untuk membentuk demokrasi dan keberanian sipil karena demokrasi hanya mungkin tumbuh apabila orang dapat hidup tanpa upaya untuk mendominasi satu sama lain.

Agar kebebasan terbentuk dalam ruang pendidikan, perlu ada tiga prinsip pendidikan kebebasan yang diberlakukan dalam ruang pendidikan yakni kehormatan (humility), kemampuan mendengar (knowing how to listen), dan kepedulian (caring). Penghormatan, bagi Freire, adalah sikap untuk menghormati proses setiap orang. Dalam ruang kelas, tidak semua orang mampu menguasai semua materi ajar karena perbedaan minat dan bakat. Oleh karena itu, anak mesti dididik untuk menghormati kelebihan dan kekurangan masing-masing orang.

Prinsip yang kedua adalah kemampuan untuk mendengar. Menurut Freire mendengar adalah kemampuan dasar bagi seorang pembelajar, dalam hal ini guru dan murid. Seorang pembelajar yang baik adalah mereka yang tahu kapan harus mendengar dan berbicara. Alasannya sangatlah penting, karena pengetahuan tidak hanya datang dari satu sumber tetapi berbagai sumber. Oleh karenanya, mendengar menjadi media yang tidak kalah pentingnya dalam proses belajar mengajar. Dalam konteks yang lebih luas, mendengar juga menjadi indeks dari keharmonisan Masyarakat karena demokrasi hanya bisa bertumbuh dalam konteks Masyarakat yang saling mendengar dan mau menghormati seorang dengan yang lain.

Prinsip yang terakhir adalah kepedulian. Bayangkan bila pendidikan berlangsung tanpa kepedulian. Naradidik hanya akan menjadi orang cerdas tetapi minim akhlak. Mereka tumbuh menjadi manusia yang egois karena mementingkan kebutuhan pribadi. Oleh karena itu, Freire mengatakan bahwa pendidikan juga perlu membentuk orang lain untuk melihat dengan hati sehingga kepedulian yang tumbuh di sekolah akan menyebar ke ruang publik. Kepedulian melahirkan kesadaran bahwa, dalam konteks masyara,at setiap orang terpanggil untuk peka terhadap penderitaan orang lain.

Tiga prinsip pedagogi kebebasan dari Paulo Freire adalah acuan dari pendidikan perdamaian dan sekolah menjadi tempat yang pertama untuk menyemaikannya. Perdamaian tumbuh karena orang dapat saling menghormati, kepedulian, dan kemampuan saling mendengarkan satu sama lain. Perdamaian terjadi karena diberikan kebebasan untuk hidup seturut kata hatinya tanpa ada unsur tekanan atau paksaan dari pihak luar.

Dalam contoh kongkrit di tanah air, model pendidikan perdamaian tersebut dapat kita lihat dalam praktik Sekolah eksperimental Mangunan yang didirikan oleh Rm. Mangun di Jogjakarta. Sebagai sekolah berbasis kebebasan khas Paulo Freire, Sekolah Eksperimental Mangunan tidak menerapkan kurikulum yang kaku dan ketat seperti sekolah lain pada umumnya. Di Sekolah Mangunan, setiap materi pendidikan mengacu pada bakat dan minat anak. Guru hanya menjadi pendamping atau fasilitator. Misalnya, sang anak suka dengan teknologi, sang guru akan membantu menyediakan peralatan dan pengetahuan teknologi seturut minat sang anak.

Model sekolah mangunan, dalam inspirasi Freire, berlangsung dalam semangat saling menghormati, mendengar, dan peduli satu dengan yang lain. Anak-anak sekolah Mangunan terdidik untuk melihat keberagaman minat dan bakat satu sama lain. Terjadi saling mendengar antar guru dan murid serta kepedulian karena guru tidak berperan sebagai sumber ilmu melainkan sahabat dalammasa tumbuh kembang naradidik. Buktinya, guru mengambil peran sebagai pendamping anak untuk membantu sang anak dalam berbagai keadaan.

Di sekolah Mangunan, anak tidak hanya belajar dalam semangat kebebasan tetapi juga perdamaian. Anak-anak terbiasa untuk hidup seturut minat dan bakatnya. Tidak ada proses tekanan dari guru pada murid termasuk antar anak-anak. Anak-anak hidup untuk saling menghormati dan mendukung pilihan mereka satu sama lain. Oleh karena itu, anak-anak belajar sekaligus bertumbuh sebagai agen perdamaian sebab mereka terdidik untuk memperlakukan satu sama lain secara terhormat, saling mendengar, dan mempelajari etika kepedulian dari sang guru.

Facebook Comments