Setiap kali ada terduga teroris tewas, maka saat itu juga akan bertebaran berita di masyarakat yang menyebut korban mati syahid. Berbagai parameter dijadikan dasar opini, antara lain tersungging senyum di bibirnya, berkeringat, aroma wangi yang menyeruak, hingga burung merpati yang beterbangan di waktu pemakaman.
Saya teringat ketika masih aktif melaksanakan liputan di lapangan pernah mewawancarai petugas kamar jenazah. Menjadi tugas mereka pada proses pemulasaran melakukan make up mayat sehingga tampak lebih segar dipandang, dan menaburkan wewangian untuk mengurangi aroma busuk. Jadi, jika ada jenazah yang tampak tersenyum atau menebarkan aroma wangi belum tentu si mayat mati dalam kondisi syahid.
Definisi paling mudah untuk syahid adalah kematian yang datang pada saat membela agama Allah SWT. Umat Islam mengenal Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang menyebut ada 6 (enam) keistimewaan yang didapatkan orang-orang yang mati syahid, yaitu diampuni dosanya sejak mulai pertama darahnya mengucur keluar, melihat tempatnya di dalam surga, dilindungi dari azab kubur, terjamin keamanannya dari malapetaka besar, merasakan kemanisan iman, dikawinkan dengan bidadari, dan diperkenankan memberikan syafa’at bagi 70 orang kerabatnya.
Melihat seluruh keistimewaan untuk orang yang mati syahid, saya berpendapat itu adalah hak prerogatif Tuhan untuk memberikannya, dan terlalu berani jika ada manusia yang menilainya. Artinya, syahid atau tidak kematian seseorang adalah keputusan Tuhan.
Sangit
Saya teringat dengan guyonan yang ada di masyarakat, khususnya di Jawa, ketika ada seseorang yang ramai dikabarkan mati syahid, yaitu mati syahid opo sangit? (mati syahid apa sangit?). Saya tidak akan mengulas lagi definisi syahid untuk menjelaskan kalimat guyonan tersebut. Lalu, bagaimana dengan makna sangit?
Sangit adalah salah satu kata dalam bahasa Jawa yang berarti aroma yang ditimbulkan akibat kebakaran. Tidak ditemukan kata sangit dalam bahasa Indonesia, namun terdapat istilah Walang Sangit yang bisa didefinisikan, yaitu jenis belalang yang menjadi hama dalam pertanian padi. Wikipedia menjelaskan, Walang Sangit bekerja menghisap cairan tanaman dari tangkai bunga (paniculae) dan juga cairan buah padi yang masih pada tahap masak susu sehingga menyebabkan tanaman kekurangan hara dan menguning (klorosis), dan perlahan-lahan melemah.
Melihat definisi sangit dalam konteks Walang Sangit, tentu bukan sebuah sifat positif. Walang Sangit adalah hama yang menyerang tanaman padi sehingga mengakibatkan kematian yang bisa berujung gagal panen dan kerugian.
Tidak ada korelasi apapun antara syahid dan sangit. Tapi guyonan di masyarakat (Jawa) itu setidaknya menjadi gambaran bagaimana seseorang bisa dikategorikan mati syahid apa sangit.
Terlepas bahwa penentuan syahid adalah hak prerogatif Tuhan, setidaknya bisa diketahui jika seseorang yang selama hidupnya berbuat kebaikan maka layak diganjar kematian syahid.
Sebaliknya, jika kehidupan seseorang selalu diisi dengan perbuatan jahat, bahkan kematian datang ketika masih melakukan kejahatan, maka tak salah jika muncul anggapan dia mati sangit.
Jika guyonan syahid opo sangit ini kita terapkan pada kasus kematian terduga teroris, perlu kita lihat terlebih dahulu bagaimana korban semasa hidupnya. Yang terbaru misalnya, Santoso, dia dikenal sebagai pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok yang sudah menyatakan berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Catatan di kepolisian menunjukkan Santoso memiliki riwayat kejahatan yang tidak sedikit, antara lain penembakan di salah satu bank di Palu, Sulawesi Tengah, pembunuhan terhadap beberapa anggota kepolisian, peledakan bom di markas kepolisian, dan pembunuhan warga sipil di sejumlah desa di Sulawesi Tengah.
Sekali lagi, kita tanggalkan dulu penentuan status syahid adalah hak prerogatif Tuhan, pantaskah dengan catatan kejahatan tersebut terduga teroris (Santoso) disebut mati syahid? Jika ada yang menyebut Santoso tengah berjuang di jalan Tuhan, agama apa yang membenarkan seorang penganutnya melakukan pembunuhan? Kita semua tentu sepakat, Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, Konghuchu, dan atau aliran agama apapun, sama sekali tidak mengajarkan pembunuhan bisa dilakukan sebagai pembenaran atas sebuah tindakan.
Glorifikasi
Indonesia sudah mengadopsi keputusan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyebut terorisme adalah extraordinary crime. Dibutuhkan sebuah penanganan khusus untuk kejahatan tersebut. Dewan Pers juga sudah menetapkan hal serupa dan menerbitkan Pedoman Peliputan Terorisme, rambu-rambu bagi pelaku Jurnalistik dalam melaksanakan peliputan isu-isu terorisme.
Salah satu poin dalam Pedoman Peliputan Terorisme adalah larangan melakukan glorifikasi, yaitu mengagung-agungkan sosok terduga pelaku terorisme dengan tujuan mencegah masyarakat pembaca berita memiliki opini positif kejahatan tersebut dan melakukannya di kesempatan lainnya.
Membuat dan menyebarluaskan kabar kematian terduga teroris syahid dengan segala parameternya adalah bagian dari glorifikasi. semua Jurnalis harus sadar dan menghindarinya, sementara masyarakat pembaca sudah semestinya terliterasi sehingga menghindari mem-viral kabar dimaksud di media sosial.