Teologi Kerukunan; Beragama Tanpa Mengingkari Kemajemukan

Teologi Kerukunan; Beragama Tanpa Mengingkari Kemajemukan

- in Narasi
96
0
Teologi Kerukunan; Beragama Tanpa Mengingkari Kemajemukan

Dalam banyak hal, agama itu imajinatif. Ketika mengimani agama, seseorang harus mengimajinasikan tentang Tuhan-iblis, surga-neraka, pahala-dosa, siksa, dan lain sebagainya yang tak kasat mata.

Bagaimana individu beragama mengimajinasikan ajaran agama yang dianutnya itu sangat bergantung pada tingkat intelektualitas, pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan tentunya pengalaman spiritual yang dialaminya.

Maka, imajinasi umat beragama atas Tuhan pun kerap berbeda-beda. Para sufi misalnya mengimajinasikan Tuhan itu sebagai dzat yang penuh welas asih, penyayang, pemaaf, dan tidak pendendam.

Sebaliknya, para teroris kerap mengimajinasikan Tuhan sebagai sosok pemarah dan suka menghukum manusia. Ini artiya, imajinasi beragama ada yang bersifat konstruktif dan sebaliknya ada pula yang cenderung destruktif.

Imajinasi destruktif dalam beragama akan melahirkan model teologi yang menjurus pada nalar konfliktual. Yakni nalar yang menganggap agama lain sebagai musuh atau ancaman. Sedangkan imajinasi konstruktif dalam beragama akan melahirkan model teologi yang ramah perbedaaan dan berkomitmen pada kerukunan.

Membangun Imajinasi Beragama yang Konstruktif

Imajinasi beragama yang konstruktif sehingga melahirkan model teologi kerukunan itulah yang sangat dibutuhkan oleh umat beragama di Indonesia. Khususnya umat Islam sebagai umat agama mayoritas di negeri ini. Sebagai mayoritas, umat Islam harus mampu mengembangkan konsep teologi kerukunan di tengah pluralitas suku, budaya, dan agama.

Konsep teologi kerukunan ini sebenarnya sudah dikembangkan sejak jauh hari oleh Rasulullah Muhammad Saw. Sewaktu di Madinah, Rasulullah membangun model relasi keagamaan yang setara (egaliter) antara kelompok Islam dan Yahudi. Di fase selanjutnya, ketika Islam membangun kekuasaan dengan melakukan ekspansi ke wilayah lain, Islam selalu mengakomodasi agama dan budaya setempat.

Dalam konteks Indonesia, model teologi kerukunan pada dasarnya juga bukan barang baru. Indonesia, dan juga kawasan Asia Tenggara, memang mengalami proses “islamisasi” yang cenderung berbeda dengan wilayah Timur Tengah. Introduksi awal Islam dilakukan oleh para pedagang asal Gujarat (India). Sedangkan gelombang konversi ke Islam dilakukan oleh para sufi Persia yang berkelana di Nusantara.

Maka, menjadi wajar jika model Islam yang berkembang di Nusantara cenderung lebih adaptif dan akomodatif pada pluralitas agama dan kearifan lokal. Lalu, puncak teologi kerukunan di Indonesia itu disimbolkan oleh penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Pancasila adalah interpretasi ajaran Islam tentang konsep kalimatun sawa alias titik temu antar berbagai golongan.

Penerimaan para tokoh Islam zaman itu terhadap Pancasila dan UUD 1945 menandakan bahwa mereka lebih mendahulukan integrasi nasional ketimbang memperjuangkan ego kelompok. Di era sekarang, teologi kerukunan mendapat tantangan serius dengan menguatnya gelombang konservatisme beragama di kalangan umat Islam.

Kerukunan Beragama di Ranah Sosiologis

Konservatisme beragama adalah fenomena yang mengemuka pasca reformasi, dimana kian banyak umat Islam yang mengalami peningkatan kesalehan, namun cenderung menjadi semakin intoleran. Di satu sisi, kita melihat bagaimana umat Islam kian terbuka dalam mengekspresikan kesalehan individualnya di ruang publik.

Sayangnya, di saat yang sama kita melihat bagaimana umat Islam sebagai kelompok mayoritas semakin menunjukkan sikap arogansinya pada kaum minoritas. Konservatisme beragama di kalangan sebagian umat Islam tampaknya berkontribusi pada menguatnya sentimen eksklusivisme beragama.

Di titik inilah, umat Islam sebagai kelompok mayoritas harus memformulasikan ulang konsep teologinya. Model teologi konservatif-eksklusif yang saat ini berkembang kiranya tidak relevan dengan realitas Indonesia yang multireliji. Kita perlu kembali ke model teologi kerukunan sebagaimana menjadi karakter bangsa Indonesia.

Kembali ke teologi kerukunan pada dasarnya tidak harus mengubah standar kesalehan atau ketakwaan kita. Artinya, umat Islam tetap bisa menjalankan ajaran agamanya dengan kaffah dan mengekspresikan kesalehannya di ruang publik, sembari tetap bersikap toleran dan inklusif pada kelompok agama lain. Menjalin kerukunan antar agama itu tidak berarti melunturkan keimanan dan ketakwaan kita.

Kerukunan antar-agama sebenarnya lebih banyak terjadi di ranah sosiologis, bukan teologis. Di wilayah teologis, setiap agama memungkinkan untuk mempertahankan klaim eksklusifnya. Misalnya Islam dengan konsep tauhidnya dan Kristen dengan trinitasnya. Konsep teologis yang seperti itu tidak boleh diubah, lantaran merupakan fundamental strucuture dari agama-agama itu sendiri.

Namun, di wilayah sosiologis, agama-agama bisa saling berinteraksi, berkolaborasi, dan bersinergi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Di ranah sosiologis, umat beragama harus membangun imajinasi kolektif yang berorientasi pada terwujudnya bangsa yang rukun, aman, dan damai.

Facebook Comments