Wukuf dan Semangat Kesetaraan

Wukuf dan Semangat Kesetaraan

- in Keagamaan
2849
0

Musim haji telah tiba, ribuan bahkan mungkin jutaan umat Muslim di seluruh dunia akan berbondong-bondong mendatangi rumah Allah di kota suci Mekah. Ibadah haji merupakan penggenap dari lima rukun utama yang ada dalam Islam. Allah hanya mewajibkan ibadah ini kepada hambanya yang mampu saja, mampu secara ekonomi, kesehatan, dan tentunya mampu secara keimanan. Untuk konteks Indonesia yang secara gerografis terletak sangat jauh dari Mekah, mampu dalam hal ekonomi dan kesehatan tentu sangat diperlukan, karena jamaah haji asal Indonesia akan menempuh perjalanan jauh, tentu dengan biaya perjalanan yang juga tidak murah. Tetapi sering kali, mampu secara keimanan saja ‘cukup’ untuk mengantarkan seseorang memenuhi panggilan Allah. Allah selalu punya cara untuk memanggil hamba yang dipilih-Nya untuk datang berkunjung ke rumah-Nya.

Ibadah Haji dilaksanakan dengan mendatangi beberapa tempat di kawasan Arab untuk kemudian melakukan ritual-ritual ibadah yang waktu dan tata caranya telah ditentukan. Ibadah haji hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni pada bulan Dzulhijjah saja. Perayaan ibadah haji dilakukan bersamaan dengan perayaan hari raya Idul Adha. Ibadah haji dapat dikatakan sebagai puncak dari keseluruhan rangkaian ibadah yang ada dalam Islam. Dikatakan sebagai puncak karena dalam ibadah haji seorang muslim dituntut untuk mampu melepas seluruh atribut keduniawiannya dan hanya berserah diri kepada Allah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasul bersabda; “Haji adalah wukuf di Arafah” (HR. An Nasai no. 3016). Hadits ini menunjukkan begitu pentingnya wukuf, sebuah tradisi unggul yang mempertemukan seluruh jamaah haji dari berbagai belahan dunia. Mereka berkumpul dengan identitas dan tujuan yang sama, beribadah kepada Allah. Mereka berkumpul sebagai muslim yang menjalankan rukun Islam demi mencapai ridha Allah.

Sesunggungnya di sinilah gambaran nyata bahwa tidak ada hal lain yang dapat dijadikan ukuran untuk kemuliaan selain taqwa. Wukuf merupakan simbol kesetaraan, karena dalam wukuf semua orang diperlakukan secara sama, tidak pandang jabatan atau kehormatan. Semangat kesetaraan seperti yang tertuang dalam wukuf ini penting untuk digelorakan, bukan saja selama prosesi ibadah haji, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa kasus yang melibatkan kerusuhan dan permusuhan yang terjadi belakangan ini merupakan bukti bahwa kesetaraan masih menjadi hal yang sulit untuk diciptakan, superioritas Madzhab telah disalahgunakan untuk merusak sendi-sendi silaturahmi, bahkan antar sesama umat Islam.

Praktek diskriminasi yang dilakukan atas nama agama ini semakin sering terpampang nyata di depan kita, beberapa kelompok menganggap kelompok Islam yang lain tidak menjalankan Islam secara utuh atau kaffah, sehingga mereka berseteru dan saling melempar amarah. Ada juga satu kelompok yang menganggap komunitas di luarnya masih menjalankan Islam dengan bumbu kesyirikan, sementara pada komunitas yang lain lagi mereka menganggap Madzhab yang dianut muslim lain adalah madzhab sesat. Semua prilaku diskriminatif itu muncul dalam diri manusia atau kelompok yang merasa superior.

Padahal dalam aluquran telah jelas dinyatakan bahwa perasaan superior sangat dilarang. Dikisahkan dalam kitab-kitab klasik, bahwa Di zaman jahiliah suku Quraisy memandang dirinya lebih utama atas suku-suku Arab lainnya. Mereka enggan wukuf di ‘Arafah bersama dengan suku-suku lain yang mereka pandang lebih rendah. Mereka pun menjadikan Muzdalifah sebagai tempat wukufnya. Mereka merasa diri mereka eksklusif dan tidak pantas berkumpul dengan muslim yang lain di Arafah. Islam datang membatalkan adat ini. Kisah inilah yang oleh sebagian ulama dianggap sebagai kontek turunnya wahyu 2:199. Allah berfirman “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (`Arafah)” (QS. al-Baqarah/2: 199).

Belajar dari kisah dan semangat kesetaraan di atas, sudah sepatutnya kita berhenti menganggap diri superior atas orang atau golongan lain. Memperlakukan perbedaan dengan kebencian dan apalagi kekerasan tentu bertentangan dengan perintah alquran. Karena Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Ia ciptakan beragam perbedaan hanya agar kita dapat saling belajar, dan bahwa satu-satunya hal yang membedakan derajat seseorang adalah ketakwaan (QS. 9:13).

Facebook Comments