Pendidikan Inklusif sebagai Membangun Karakter

Pendidikan Inklusif sebagai Membangun Karakter

- in Narasi
1413
1
Pendidikan Inklusif sebagai Membangun KarakterPendidikan Inklusif sebagai Membangun Karakter

Zaman yang berubah dengan percepatan ilmu komunikasi, teknologi yang melampaui tatanan zaman. Dengan berbagai macam kondisi yang menyayangkan jagad pendidikan. Banyaknya kasus murid dibangku pendidikan berani kepada dengan gurunya. Fenomena yang tak lazim didunia dewasa ini. Untuk itu perlunya transformasi mengenai kurikulum pendidikan kita. Salah satunya adanya pendidikan yang menguatkan nilai-nilai etika untuk mengimbangi generasi millenial.

Pendidikan inklusif merupakan konsep ideal yang memberikan kesempatan dan peluang sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif dan membuka cara pandang untuk menempatkan anak didik sebagai formulasi awal perkembangan cara berfikir yang universal tanpa menghilangkan identitas sebagai anak bangsa, pendidikan inklusi secara tidak langsung menekankan anak didik pada ruang yang tidak mengekang akan perkembangan zaman. Untuk mewujudkan masyarakat yang terbuka menuju era globalisasi yang terus berkembang setiap zamannya.

Baca juga :Meredam Radikalisme Lewat Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren

Pendidikan inklusif bersandarkan kearifan lokal sangat penting dikaji dalam dinas pendidikan. Sebagai formulasi memunculkan nilai-nilai lokalitas kita. Karena sebagaimana kita melihat sejarah bangsa yang mempunya nilai-nilai adi luhung yang tertanam pada ekspresi nenek moyang kita.

Penekanan pada pembentukan nilai-nilai kearifan lokal yang dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. membawa kondisi ruang masyarakat yang mampu membentengi pemikiran yang liberal yang tidak mempunyai etika. Kedangakalan tata nilai ini pada gilirannya menghasilkan sikap hidup yang doktriner, yang menggolongkan manusia hanya kepada dua kelompok saja.

proses belajar dengan berinteraksi dan bersosialisasi langsung dengan anak-anak normal di satu sisi, sekaligus memberi pemahaman sejak dini kepada anak-anak normal belajar berempati dan memiliki kepedulian. Dengan demikian, melalui pendidikan inklusi diharapkan mampu membentuk karakter anak-anak yang cerdas, berakhlak, dan berkarakter kebinekaan.

Bhinneka yang tak terbatas pada makna menghargai keberagaman suku, agama, ras, golongan saja, namun lebih luas lagi pada keberagaman kecerdasan/potensi. Howard Earl Gardner dari Harvard University, penulis buku tentang Theory of Multiple Intelligences (1983) menerangkan bahwa setiap manusia memiliki beragam kecerdasan/potensi. Menurutnya, ada delapan kecerdasan manusia yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan linguistik verbal, kecerdasan musikal ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan spacial visual, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan intrapersonal.

Selama ini, umumnya sekolah-sekolah fokus pada kecerdasan intelektual saja. Di sinilah peran sekolah inklusi sebagai satu wadah yang menemukan dan mengembangkan keberagaman potensi/kecerdasan, untuk dididik menjadi individu berkarakter kebinekaan yang mampu menghargai keberagaman, belajar berempati dan tolong menolong dalam kehidupan sosial.

Semoga, ke depan, hal seperti itu tak terjadi lagi sehingga misi pemerintah memajukan pendidikan yang memanusiakan manusia. Wallhua’llam

Facebook Comments