Masih ingat dengan Alimudin Baharsyah atau yang biasa disapa Ali Baharsyah? Dia adalah pemuda tanggung yang ditangkap aparat kepolisian dari rumahnya di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, karena disangka melakukan penghinaan kepada presiden Joko Widodo. Dua pekan berlalu setelah penangkapannya, namanya masih ramai dibahas di media sosial.
Seperti di Twitter, sejak pertama kali ditangkap hingga hari ini, Minggu (19/4/2020), tagar #SaveAliBaharsyah masih berseliweran. Menariknya, beberapa akun yang menyertakan tagar itu pada kicauaannya juga menulis tentang pentingnya menegakan khilafah di bumi Indonesia. Tak aneh memang, karena jika kita telusuri di dunia maya Ali Baharsyah memang banyak disangkutpautkan dengan gerakan mengusung khilafah, dan dirinya dilabeli sebagai pejuang Islam.
Yang mengejutkan, sebuah akun di Twitter bahkan berkicau tentang acara Multaqo Alim Ulama Aswaja yang hari ini diselenggarakan di Kalimantan Selatan. Dalam kicauannya akun itu menyebut penyelenggara telah mendompleng ulama Aswaja, karena sejatinya acara itu digelar oleh para pengusung khilafah, bahkan disertai dengan tagar #SaveAliBaharsyah.
Di luar pembahasan tentang Ali Baharsyah, masih banyak akun-akun di Twitter yang menyertakan tagar #Khilafah dalam kicauannya. Tak sedikit pula yang menuliskan, mewabahnya Covid-19 sebagai akibat dari penyebaran virus SARS-Cov-2 atau Corona, merupakan hukuman dari Tuhan atas perlakuan bangsa Indonesia terhadap upaya penegakan khilafah. Sebuah analisa yang jelas sangat tendensius, karena serangan Corona tidak hanya terjadi di Indonesia semata.
Baca Juga : Ramadan, Pandemi dan Jarak Sosial
Setelah dibekukannya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah hampir 2 tahun lalu, upaya para pengusung khilafah untuk tetap menyebarluaskan keyakinannya memang tak pernah surut. Bahkan di tengah wabah penyakit yang saat ini terjadi, mereka masih berupaya mencari celah.
Seperti yang mereka lakukan di awal Covid-19 mewabah pada akhir Maret lalu, sebuah diskusi digelar secara virtual dengan menghadirkan mantan juru bicara HTI, Ismail Yusanto sebagai salah satu pembicara. Pilihan virtual pada diskusi bertajuk ‘Indonesia Berkah dengan Tegaknya Syariah’ itu juga menunjukkan betapa mereka terus bergerak di tengah keterbatasan yang ada, termasuk memanfaatkan teknologi di momen isolasi masyarakat.
Perlu Ketegasan Aparat
Dengan dibekukannya HTI rupaya tidak menghentikan kampanye pengusungan khilafah, baik secara terorganisir maupun oleh perseorangan di Indonesia. Bukti-bukti di atas, dan masih banyak lagi yang berseliweran di dunia maya maupun secara terang-terangan di tengah masyarakat, seyogyanya bisa menjadi alasan gerakan itu dihentikan.
Di dunia maya misalnya, baik lewat media sosial maupun portal berita, seharusnya bisa ditindak secara tegas oleh otoritas berwenang, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informasi. Merekalah ‘polisi’ penjaga penggunaan internet di Indonesia, yang memiliki kewenangan melakukan pembekuan akun dan pemblokiran portal. Sementara aktifitas offline, meskipun intensitasnya saat ini mungkin berkurang, gerakannya yang masih ada seharusnya bisa ditindak secara tegas oleh aparat kepolisian. Aparat harus lebih selektif sejak di proses pemberian izin, hingga pembubaran secara paksa jika memang tetap dilaksanakan.
Keterlibatan Masyarakat
Para pengusung khilafah meyakini, Indonesia saat ini belum menjalankan sistem pemerintahan yang baik dan efektif untuk kemaslahatan warga negaranya. Karenanya, mereka menginginkan ke-khilafah-an global tegak, yang dipercaya akan menghadirkan kesejahteraan yang lebih baik bagi Indonesia dan negara-negara lain yang menerapkannya. Gerakan ini sama halnya dengan terorisme yang ingin mendirikan negara di dalam negara, dan karena itulah gerakannya secara resmi dilarang.
Pemerintah terus mengkampanyekan bagaimana masyarakat seharusnya terlibat secara aktif di pencegahan terorisme, karena pekerjaan itu sejatinya memang bukan semata-mata tugas dan tanggung jawab aparat. Begitu juga memerangi upaya penegakan khilafah, masyarakat harus didorong untuk ikut serta melakukannya. Kita percaya dengan adagium, sebuah pekerjaan akan terasa ringan jika dilakukan secara bersama-sama. Pertanyaannya, apa dan bagaimana melibatkan masyarakat.
Melihat gencarnya upaya para pengusung khilafah dalam mengkampanyekan gagasannya, seharusnya juga diimbangi oleh pemerintah untuk tak lelah menanamkan bahwa gerakan itu bersifat terlarang. Literasi kepada masyarakat tentang bahaya gagasan khilafah harus terus dilaksanakan, berjalan seirama dengan patroli dunia maya untuk memberangus akun, portal, dan konten bermuatan khilafah. Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang bahaya khilafah, mereka perlu didorong untuk tidak abai terhadap adanya aktifitas penyebarluasan gagasan khilafah di tengah kelompok dan lingkungannya.