Perjuangan berat mengisi kemerdekaan salah satunya terkait upaya menyelematkan bangsa dari bahaya laten radikalisme. Kunci penyelamatan adalah implementasi nilai-nilai Pancasila. Setiap tanggal 31 Oktober menjadi momentum yang mendorong spirit anak bangsa guna selalu menjaga kesaktian Pancasila. Manifestasi spirit tersebut salah satunya melalui bela negara.
Program bela negara dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan generasi muda di Indonesia. Bela negara strategis sebagai upaya memperkokoh dan menjaga kesatuan nasional. Meskipun demikian ada yang berpendapat rencana program bela negara tidak esensial bagi pendidikan hari ini dan memberi kesan kedaruratan perang yang meresahkan psikologis publik. Apalagi kondisi kini masih terbayangi oleh dampak Pandemi Covid-19. Bela negara yang lebih konstekstual tentu adalah melawan pandemi dan meminimalisasi risiko dampaknya.
Bela Negara
Sumber daya manusia yang siap membela negara merupakan salah satu unsur dalam nilai kekuatan perlawanan bangsa (Kemenhan, 2015). Bela negara merupakan kewajiban seluruh warga negara Indonesia, tanpa batasan profesi dan usia. Bela negara semestinya dimasukkan di kurikulum mulai TK hingga perguruan tinggi.
Faisal (2015) memaparkan bahwa program bela negara memiliki landasan UUD 1945. Pasal 27 ayat (3) mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Pasal 30 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”
Selain itu juga berlandaskan UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Pasal 9 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara”.
Konsep bela negara ini tidak ada batasan umur. Bagi warga yang umurnya 50 tahun ke atas atau ke bawah akan disesuaikan saja porsi latihannya. Namun demikian, pemerintah memastikan bahwa program Bela Negara berbeda dengan program wajib militer. Menhan menandaskan bahwa jika masyarakat tidak ikut serta dalam bela negara, maka dipersilakan untuk angkat kaki dari Indonesia.
Hasanudin (2015) mengkritisi wacana program bela negara ini dalam beberapa aspek. Pertama, program belum dibarengi dengan ketersediaan sarana dan prasarana. Jumlah kader yang menjadi target adalah 10 juta orang per tahun atau 833.000 orang per bulan.
Kedua, dasar hukum tentang Bela Negara belum lengkap. Dasar baru ada dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat 1. Selanjutnya dalam Ayat 5 dijelaskan, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat 3 juga disebutkan, ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan UU. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU Bela Negara, apalagi peraturan-peraturan pendukungnya seperti perpres atau keppres.
Ketiga terkait anggaran. Pemerintah di sisi lain malah mengurangi anggaran TNI dalam pengadaan alutsista. Pemerintah mestinya melakukan skala prioritas terkait pertahanan negara.
Kemenhan telah menegaskan bahwa program pendidikan bela negara yang diinisiasi bukan merupakan pendidikan militer. Kemenhan menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam mewujudkan program tersebut. Bela negara tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa, tetapi ditujukan untuk semua warga negara. Program bela negara tidak bersifat wajib, tetapi sukarela. Artinya, mahasiswa mempunyai pilihan untuk ikut program tersebut atau tidak.
Strategi Optimalisasi
Program bela negara sejak awal menimbulkan polemik di ranah publik. Pemerintah penting melakukan kajian dan evaluasi agar optimal. Sosialisasi dan jaring aspirasi penting ditempuh guna evaluasi program. Beberapa hal penting dilakukan pemerintah guna menguatkan program ke depannya.
Pertama, kejelasan skema pembiayaan. Indonesia kini tengah dihantui badai kesulitan ekonomi akibat melemahnya nilai Rupiah. APBN juga berpotensi terkena imbasnya. Program-program pertahanan selama ini masih jauh dari harapan terkait kemampuan penganggaran. Misalnya terkait alutsita, sarana TNI lainnya, dan kesejahteraan prajurit TNI. Pemerintah mesti segera membahas secara rinci dengan DPR terkait pembiayaan, apalagi program ini sifatnya berkelanjutan setiap tahun.
Kedua, integrasi dan sinergisitas dengan kurikulum pendidikan yang ada. Kemenhan merencanakan program bela negara masuk dalam kurikulum pendidikan. Integrasi penting agar tidak menambah beban Kemendiknas dan peserta didik. Penambahan kurikulum penting dihindari dan sebaiknya memasukkan dan kurikulum yang ada dan relevan.
Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana penunjang. Selama ini sarana dan prasarana TNI di daerah-daerah masih memperihatinkan, apalagi jika dibandingkan dengan Polri. Sarana dan prasarana ini penting disediakan secara layak terlebih dahulu agar optimal. Fasilitas penting juga menggunakan Polri, pemerintahan, dan lainnya tanpa mengganggu instansi tersebut. Jaminan berupa asuransi juga penting diberikan kepada peserta kader bela negara mulai dari pendidikan hingga pelaksanaan.
Keempat, kejelasan regulasi serta konsep kurikulum dan pelatihan. Payung hukum berupa UU Bela Negara penting disiapkan pemerintah dan DPR. UU Pertahanan belum cukup untuk menyusuna peraturan teknis terkait bela negara, baik PP hingga Keppres. Konsep kurikulum juga mesti dimatangkan dan tidak terkesan asal jadi kejar tayang. Tim Pakar dan praktisi pertahanan penting dilibatkan.
Kelima, sinkronisasi dengan sektor terdampak dan terkait. Usia produktif dipastikan paling banyak menjadi target perekrutan kader bela negara. Untuk itu penting dilakukan koordinasi dan sinkronisasi agar tidak menimbulkan gejolak sosial ekonomi. Misalkan saja terkait sektor ekonomi. Pertanyaan yang mesti dijawab adalah bagaimana dengan kerja jika terlibat pendidikan dan pelatihan. Bela negara secara konseptual adalah kebutuhan penting yang tidak terbantahkan. Namun kesiapan segala hal tidak boleh sembarangan agar justru tidak kontra produktif. Antisipasi permasalahan klasik mesti disiapkan, seperti potensi korupsi dan penyalahgunaan program.