Indonesia telah melewati pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Kendati digelar di masa pandemi Covid-19, tetapi antusiasme masyarakat cukup tinggi, sehingga menjadi kabar baik bagi demokrasi. Paling tidak, masyarakat masih memiliki harapan munculnya kepala daerah baru yang mampu memberikan perubahan bagi daerah-daerah di Indonesia.
Namun, satu hal yang tidak bisa dihilangkan dalam kontestasi politik adalah adanya sentimen agama yang dijadikan alat untuk mengeruk suara masyarakat. Bahkan, sejumlah calon di daerah tertentu sengaja menonjolkan kolom agama dalam pamfletnya saat berkampanye. Sangat miris sebenarnya, mengingat mayoritas masyarakat sangat sensitif dengan isu-isu yang berkaitan dengan agama.
Jika kita melihat sejarah pelaksanaan Pilkada kaitannya dengan adanya politik identitas di dalamnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh paling konkrit. Berawal dari ucapan BTP di Kepulauan Seribu yang mengutip salah satu ayat al-Qur’an, kemudian potongan videonya diviralkan di media sosial. BTP pun dilaporkan ke polisi atas tuduhan menistakan agama. Kebetulan, BTP berasal dari etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen Protestan.
Peristiwa ini juga memunculkan aksi massa besar-besaran yang mengatasnamakan Aksi Bela Islam, menuntut penetapan tersangka BTP. Kendati BTP sudah meminta maaf terhadap umat Islam atas ucapannya, tetapi aksi massa tetap tidak surut, bahkan semakin membesar. Hingga pada 2 Desember 2016, lahirlah Aksi Massa 2012. Usai aksi tersebut, sempat digelar 2 kali Aksi Reuni 212 pada 2017 dan 2018. (kumparan.com)
Satu kisah sangat miris sebagai buntut dari kejadian ini adalah, adanya penolakan shalat jenazah karena mendukung BTP dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, karena dituduh mendukung calon pemimpin kafir yang telah menistakan agama. Tentu, fenomena ini menjadi kemunduran amalan Islam oleh muslim. Karena, telah menyalahi aturan Islam untuk segera menyalati jenazah dan memperlakukannya dengan baik dan hormat.
Ulama Penganjur Cinta NKRI
Adalah Habib Luthfi bin Yahya, ulama yang tidak pernah absen dalam menganjurkan masyarakat selalu cinta tanah air, cinta NKRI. Banyak orang yang memanggilnya “abah”, karena dinilai memiliki kharisma sebagai seorang ayah yang arif dan bijaksana, serta mampu membimbing masyarakat menuju ke jalan yang benar, yakni Allah Swt dan Rasul-Nya.
Dalam skripsi Ines Fiera Wijayanti, Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, yang berjudul Pemikiran Habib Luthfi bin Yahya tentang Nasionalisme, disebutkan, Abah Luthfi sangat menyadari bahwa Indonesia dibentuk oleh keanekaragaman suku, ras, agama, dan golongan, sehingga sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Karena itu, dalam setiap ceramahnya, Abah Luthfi selalu membahas urgensi upaya mengukuhkan persatuan bangsa, menghargai dan menghormati orang lain serta tidak membedakan status sosial orang lain.
Selain itu, baik dalam acara kenegaraan maupun masyarakat, Abah Luthfi kerap membacakan Pancasila dan meminta hadirin berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ini membuktikan kecintaan Abah Luthfi kepada bangsa Indonesia, demi mewujudkan misi Islam yang rahmatan lil’alamin. Atas upaya tersebut, Abah Luthfi mendapatkan penghargaan Upakarti Reksa Bhineka Adhikarana atas keluhuran budi dalam menjaga kebhinekaan dalam kerangka NKRI. (Ines, 2017)
Figur seperti Abah Luthfi memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang selalu dijejali ribuan bahkan jutaan informasi di media sosial. Munculnya ustaz-ustaz dadakan juga rentan memunculkan perpecahan di tubuh Islam (dan bangsa Indonesia), mengingat tak jarang mereka hanya mengutip ayat atau hadits sepotong-sepotong.
Karena itu, jika ada orang yang mengaku ulama tetapi suka mencaci maki orang lain dan gemar menuduh “kafir-sesat”, maka kita perlu berhati-hati. Karena, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk saling membenci, melainkan saling-rangkul dan gotong royong dalam membangun peradaban bangsa. Islam lahir untuk mengatur urusan manusia agar lebih mulia, jadi marilah kita bangun peradaban ini berlandaskan cinta-kasih.