Sebagai keputusan yang sangat tepat yang diambil oleh tiga Menteri yaitu Nadiem Makarim sebagai (Mendikbud), Tito Karnavian (Mendagri) dan Yaqut Cholil Qoumas (Menag). Hal ini terangkum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diselenggarakan secara daring di Jakarta pada Rabu 3 Februari 2021 kemarin. Tentang aturan seragam di Sekolah yang tidak boleh (mewajibkan) anak didik atau tenaga pendidikan menggunakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu. Apakah mereka mau berjilbab atau tidak, itu semua kebebasan (hak individu) dari tiap-tiap agama dan keyakinan masing-masing.
Surat keputusan ini sebagai tindakan tegas pemerintah untuk memberantas sikap dan praktik intoleransi di Sekolah yang akhir-akhir ini banyak terjadi. Seperti halnya kewajiban berjilbab di sekolah negeri terhadap siswi non-muslim. Karena tindakan tersebut sejatinya memberi contoh buruk. Mengajarkan sikap intoleransi di sekolah. Tindakan yang semacam ini jika dibiarkan, maka akan dicontoh oleh anak-anak didik kelak ketika dewasa.
Sehingga, dengan ditandatanganinya SKB tersebut, pemerintah daerah dan seluruh kepala sekolah, wajib mencabut aturan tentang kewajiban menggunakan seragam, dengan atribut keagamaan tertentu. Paling lambat 30 hari sejak keputusan ditetapkan. Jika ada yang melanggar, akan ada sangsi tegas bagi mereka yang tidak menaati keputusan tersebut.
Kebijakan ini saya kira sebagai alternatif untuk memberantas oknum-oknum yang sengaja berbuat intolerant terhadap mereka yang beda agama di sekolah. Mendiskriminasi dengan jalan pemaksaan menggunakan atribut keagamaan tertentu. Hal ini sebagai “akar rumput” yang bisa mencengkeram karakter dan pemikiran anak-anak bangsa. Nantinya mereka akan gugup perbedaan dan sulit menerima perbedaan.
Sehingga, dengan adanya keputusan tersebut, niscaya sekolah akan menjadi paradigma penting untuk mendesain anak-anak bangsa yang memiliki keterbukaan dan keramahan terhadap perbedaan kelak ketika menjalani kehidupan sosial yang beragam. Karena sekolah ramah perbedaan itu sangat penting dalam dunia pendidikan. Agar mampu mencetak para generasi bangsa yang memiliki (kesadaran keberagamaan) yang kuat dan egalitarian. Sehingga, mereka akan tampak eksis dan terbuka dalam hal perbedaan.
Karena keputusan bersama yang dilakukan oleh tiga menteri tersebut memberikan hak dan kebebasan kepada seluruh pengajar dan yang paling penting adalah murid di sekolah agar menggunakan atribut keagamaan berdasarkan prinsip dan keyakinan masing-masing. Bagaimana yang muslim bisa menggunakan jilbab. Begitu juga mereka non-muslim bisa tidak menggunakan jilbab.
Artinya ada kebebasan hak individu di dalam menggunakan atribut keagamaan di sekolah tanpa ada pengkhususkan terhadap agama tertentu. Sebagai cara alternatif yang disepakati bersama oleh tiga menteri tersebut. Agar lembaga pendidikan sekolah benar-benar merealisasikan dengan baik akan sikap toleransi, egalitarian dan saling mengerti satu sama lain.
Upaya ini sebagai cara paling sederhana untuk mendesain sekolah sebagai lembaga ramah perbedaan. Secara substansi, menegakkan semangat saling menghargai satu sama lain dengan adanya hak dan kebebasan individu dalam atribut pakaian. Apakah berjilbab atau tidak itu keputusan setiap orang masing-masing. Tidak boleh dipaksakan untuk menggunakan atribut keagamaan tertentu. Karena hal ini sangat menyalahi prinsip-prinsip kebangsaan kita yang menjunjung tinggi kebersamaan dan toleransi perbedaan.
Dengan sebuah keputusan bersama yang dilakukan tiga menteri ini. Besar kiranya akan membangun bentuk-bentuk strategis di dalam meniscayakan toleransi dan rahmah perbedaan yang ada di sekolah. Kebijakan ini jika dikonsumsi oleh anak didik, niscaya mereka tidak akan gugup terhadap perbedaan. Karena sejak kecil, selama dia di sekolah, mereka sudah terbiasa dengan perbedaan. Sudah terbiasa menghargai dan menghormati mereka yang berbeda agama melalui hal-hal yang paling sederhana. Termasuk kebebasan hak setiap individu di sekolah dalam menggunakan atribut keagamaan berdasarkan keyakinannya masing-masing.