Mencuatnya wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik alias UU ITE telah menimbulkan pro-kontra di sejumlah kalangan. Adalah Presiden Joko Widodo yang pertama kali menggulirkan ide merevisi UU ITE. Ide ini muncul dalam rangka merespons banyaknya aduan tentang implementasi UU ITE yang dinilai kerap dijadikan alat untuk mengkriminalisasi dan membatasi kebebasan berpendapat. Wacana ini disikapi beragam, baik oleh lembaga pemerintah sendiri maupun masyarakat sipil. Di ranah legislatif, terjadi pro-kontra seputar wacana revisi UU ITE tersebut. Sementara di kalangan masyarakat sipil, sebagian masyarakat menilai wacana revisi UU ITE sebagaimana dilontarkan Presiden Jokowi ini merupakan langkah maju dalam demokratisasi pasca Reformasi.
Jika dibaca dalam lanskap yang lebih luas, mencuatnya kontroversi terkait UU ITE sebenarnya bukan kali ini terjadi. Berkali-kali UU ITE menjadi perdebatan publik lantaran penerapannya kerap kontroversial dan acapkali hanya menyasar kelompok lemah. Padahal, UU ITE ini telah ada sejak tahun 2008, tepatnya pada masa kepemimpinan Presiden SBY. Memang sejak awal keberadaan UU ITE ini lebih banyak dipakai dalam konteks kejahatan di dunia maya (cyber–crime) dan jarang dipakai untuk memidanakan pelaku pencemaran nama baik atau penghinaan. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, UU ITE justru lebih banyak dipakai untuk menjerat pelaku pencemaran nama baik dan penghinaan di media digital. Padahal, banyak kalangan menilai pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE terbilang multitafsir dan rawan dipelintir untuk kepentingan pihak tertentu.
Problem multitafsir inilah yang kiranya menjadi latar di balik maraknya kasus penerapan UU ITE yang kontroversial. Secara keseluruhan, UU ITE sebenarnya mengandung spirit membangun ruang publik virtual yang sehat. Keberadaan UU ITE tentu sangat vital, terutama di tengah kondisi ruang publik dunia maya kita yang belakangan ini dikuasai oleh narasi menyesatkan seperti hoaks, fitnah, ujaran kebencian, provokasi dan sejenisnya. Hanya saja memang ada pasal-pasal, terutama terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang multitafsir sehingga potensial dijadikan sebagai alat membungkam kritik dan menyumbat kebebasan berpendapat. Di titik ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa kontroversi UU ITE sebenarnya bukan pada spirit yang dikandung UU tersebut, melainkan bagian kecil dari keseluruhan UU yang rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang.
Faktor lain yang kiranya juga menyumbang andil pada maraknya kontroversi terkait implementasi UU ITE ialah menguatnya polarisasi di masyarakat akibat perbedaan afiliasi politik. Data SAFENet menunjukkan bahwa penggunaan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE meningkat drastis sejak tahun 2017 yang notabene bertepatan dengan momentum Pilkada DKI yang kerap diidentikkan sebagai pesta demokrasi paling panas sepanjang sejarah Indonesia pasca-Reformasi. Data ini dalam banyak hal membuktikan bahwa sentimen fanatisme politik yang berujung pada polarisasi menjadi faktor terpenting kedua di balik kontroversi UU ITE. Polarisasi politik membuat relasi sosial di dunia maya memanas. Nyaris setiap hari kita temukan narasi debat yang bernuansa kebencian dan diwarnai cacimaki. Tidak jarang, perdebatan itu berujung pada saling tuntut ke polisi menggunakan UU ITE.
Pentingnya Pendidikan Etika Politik dalam Demokrasi Virtual
Problem multitafsir dan menguatnya polarisasi tidak diragukan merupakan dua faktor penting mengapa implementasi UU ITE di lapangan kerap tidak sesuai dengan spirit awalnya. UU ITE yang idealnya menjadi pelindung ruang publik dunia maya agar steril dari konten dan narasi negatif seperti hoaks dan ujaran kebencian justru menjadi alat untuk membungkam kebebasan berpendapat dan mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis. Di titik ini, kita perlu membangun kesadaran baru bahwa yang kita butuhkan saat ini bukanlah sekadar revisi maupun reinterpretasi atas UU ITE. Apa yang lebih urgen kita lakukan saat ini ialah memberikan pendidikan politik pada publik terutama ihwal bagaimana berdemokrasi di era digital.
Saat ini, mau tidak mau kita telah masuk ke alam demokrasi virtual, dimana segala praktik politik demokrasi lebih banyak dilakukan di ranah daring (online). Ruang publik di dunia maya seperti media sosial telah menjadi panggung politik baru dimana para elite politik dan masyarakat umum bebas memproduksi opini, berkampanye politik praktis dan menyatakan dukungan atau penolakan terhadap politisi tertentu. Media sosial sebagai ruang publik digital telah menjelma menjadi arena pertempuran baru dalam berebut dominasi utamanya dalam konteks politik. Semua itu membawa konsekuensi yang tidak ringan. Demokrasi virtual yang kita praktikkan saat ini menyimpan berbagai potensi risiko, antara lain maraknya kampanye negatif di dunia maya, yang mewujud pada hoaks, fitnah dan semburan kebencian.
Diakui atau tidak, ekses demokrasi virtual yang mewujud pada hoaks, fitnah dan kebencian itu telah kita lihat dalam beberapa tahun belakangan. Kian ke sini, nilai-nilai demokrasi kita kian luntur. Di saat yang sama, perilaku warganetdi dunia maya pun kian jauh dari cerminan etika ketimuran dan keindonesiaan. Semburan cacimaki, kritikan berbalut kebencian dan fitnah tumbuh subur layaknya jamur di awal musim penghujan. Demokrasi virtual kita pada akhrinya keruh oleh perseteruan-perseteruan antarmasyarakat sipil yang jauh dari tujuan konstruktif. Di titik ini, revisi dan reinterpretasi UU ITE saja tidak akan memadai untuk mengatasi sengkarut persoalan tersebut.
Kita membutuhkan sebuah gerakan pendidikan etika politik bagi publik agar tidak gagap menghadapi era demokrasi virtual. Demokrasi di era revolusi industri 4.0 membutuhkan kesadaran penuh warganegara, terutama terkait relasi dan komunikasi di media digital. Media digital memang dikembangkan di atas fondasi keterbukaan dan kebebasan. Namun, bukan berarti kebebasan dan keterbukaan itu bersifat absolut, alih-alih dibatasi oleh prinsip dan nilai etika. Di era demokrasi virtual, publik dituntut untuk tidak hanya mampu memproduksi opini dan wacana kritis, namun juga dituntut bisa mengemas dan menyampaikannya dengan etis dan elegan. Tanpa pendidikan etika politik yang memadai, UU ITE akan menuai kontroversi meski direvisi dan diinterpretasi berkali-kali.