Menjaga Kewarasan Bermedia Sosial Dengan Uu Ite

Menjaga Kewarasan Bermedia Sosial Dengan Uu Ite

- in Narasi
1005
0
Menjaga Kewarasan Bermedia Sosial Dengan Uu Ite

Memasuki era globalisasi pada awal tahun 1990-an manusia mengalami perubahan sosial. Dinamika kehidupan yang semakin kompleks ditambah mudahnya akses ke seluruh dunia telah menghilangkan batas-batas berbangsa dan bernegara. Sejak didirikannya Facebook pada 4 Februari 2004, manusia memiliki dua kehidupan. Bukan antara dunia nyata dengan akhirat akan tetapi dunia nyata dan dunia maya. Sejak saat itu manusia tak beda jauh bagaikan hewan amfibi yang hidup pada dua alam. Adanya aplikasi facebook ini pastilah membawa dampak positif dengan lebih mudah manusia berinteraksi dan memperluas jaringan. Akan tetapi tidak sedikit pula dampak negatifnya seperti penipuan, menyebaran data pribadi bahkan manusia bisa menjadi gila sesaat dan permanen di media sosial.

Di Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat padat menjadi salah satu negara dengan pengguna media sosial paling banyak. Tak ayal tindakan kriminal di media sosial menjadi kejahatan baru. Fenomena ini tentu menjadikan masyarakat semakin resah mengingat belum adanya payung hukum terhadap kejahatan di media sosial. Pemerintah pun cepat tanggap dengan segera mengeluarkan Undang-Undang no 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Patutlah masyarakat menjadi lega setelah diberikan kepastian hukum dalam bermedia sosial. Delapan tahun berselang, UU tersebut mengalami perubahan sehingga disahkan menjadi UU No 19 tahun 2016 tentang UU ITE.

Akan tetapi semenjak mengalami perubahan, para netizen malah semakin menjadi gila bermedsos. Seakan-akan apa yang mereka lakukan dilindungi oleh Hak Asasi Manusia. Dampaknya semakin banyak informasi hoaks, ujaran kebencian, isu sara, fitnah, dan lain sebagainya yang berujung konflik horizontal di masyarakat bahkan keluarga dan menimbulkan kegurian dari para pihak. Dan disinilah UU ITE menjalankan fungsinya untuk menghukum oknum-oknum yang berani melanggar pasal-pasal pada Undang-Undang tersebut. Namun demikian pada perkembangnya, UU ITE dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertangung untuk menjerat dan memidanakan netizen yang dirasa melanggar UU tersebut. Setidaknya ada dua pasal yang terkenal dengan sebutan pasal karet yang digunakan untuk memidanakan seseorang yaitu Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dan Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pada pasal 27 ayat 3 Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden. Kemudian Pada pasal 28 ayat 2 rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Pada tanggal 15 Februari 2021, lagi-lagi pasal ini menuai kontroversi. Kali ini Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyampaikan kepada Kapolri untuk lebih selektif untuk memilih perkara mana saja yang memang sesuai dengan UU ITE. Terlebih Presiden akan mengajukan revisi UU ITE jikalau pada penerapannya belum bisa memberikan rasa keadilan.

Setelah mengalami perubahan dan wacana akan direvisi, akankah warga sebagai subjek hukum dari UU ini akan bernasib sama atau jauh lebih baik daripada sebelumnya ? Mula-mula mari dimulai dari kita sebagai pengguna media sosial. Tentunya dengan adanya media sosial yang mempermudah informasi dan transaksi ada aturan yang kita patuhi. Termasuk konsekuensi apabila kita melanggarnya. Bermedia sosial tak lantas kita bisa semena-mena berbuat sesuatu. Apa yang menjadi hak dan tidaknya bermedia sosial, lalu berperilaku yang benar serta tidak melakukan kesalahan adalah tujuan dibentuknya UU ITE selain memberikan kepastian hukum. Hukum disatu sisi memang menjadi belenggu, akan tetapi disisi lain memberikan jaminan. Menjaga kewarasan dengan Undang-Undang ITE saat ini dirasa sangat perlu. Artinya, tidak menjadi penting dan akan hilang arti revisi UU ITE selama warga di dunia maya menjaga kewasannya. Sebanyak apapun UU tersebut direvisi ataupun diubah, selama gila permanen dalam bermedia sosial seperti halnya menembus batas-batas nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan kenegaraan selama itupula nasib kita akan tetap sama.

Menjaga kewarasan dengan penguasaan literasi digital akan mampu menciptakan daya pikir yang arif dan bijak dalam berselancar di dunia maya, serta memberikan layanan serta informasi yang mendatangkan maslahat. Tak luput juga pihak-pihak instansi pemerintah apabila dikritik haruslah bijak dalam menanggapi, tidak kemudian melaporkan dan membawa ke jalur hukum menggunakan pasal-pasal pada UU ITE. Sebagai wakil rakyat haruslah lebih terbuka. Begitu pula para pengkritik haruslah objektik dalam menyuarakan aspirasi, tidak boleh menyebarkan kebencian, isu sara, bahkan agama apalagi sampai menyerang privasi dan keluarga. UU ITE adalah salah satu cara agar warga dunia maya menjadi waras dalam bermedia sosial. Pertanyaanya, apabila banyak netizen yang gila bermedia sosial, sudahkah pemerintah memberikan jamina kesehatan berupa Rumah Sakit Jiwa di dunia maya ? Jangan sampai kita yang waras menjadi gila di dunia maya. Anda yang sudah terlanjur gila bermedia sosial mari menjadi waras.

Facebook Comments