Shalat, Kok Maksiat?

Shalat, Kok Maksiat?

- in Narasi
1778
0
Shalat, Kok Maksiat?

Apa makna isra mikraj dalam kehidupan kita sehari-hari? Pertanyaan ini penting direfleksikan, bukan semata-mata berhenti pada pemahaman yang hanya menekankan pada perintah untuk mengerjakan shalat lima waktu, tetapi juga merefleksikan pada aspek efek atau pengaruh yang ditimbulkannya.

Apakah shalat kita telah membawa dampak positif bagi perilaku sehari-hari? Atau justru sebaliknya? Mengapa ada, dan bahkan banyak orang yang terlihat rajin ibadah shalat, tetapi secara bersamaan melakukan perbuatan nista, maksiat, seperti terjerat kasus korupsi, melakukan tindakan yang merugikan orang lain, berupa teror, bullying, sebar berita palsu alias hoaks?

Sebagaimana umum diketahui, bahwa perintah shalat, memang menjadi semacam “oleh-oleh” Nabi Muhammad SAW saat melakukan perjalanan spiritual isra miraj. Shalat menurut bahasa adalah berdoa. Ditambahkan oleh Ash-Shiddieqy (1983) bahwa perkataan shalah dalam bahasa arab berarti doa memohon kebajikan dan pujian, sedangkan secara hakikat mengandung pengertian “berhadap hati (jiwa) kepada Allah dan mendatangkan takut kepada-Nya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”.

Peristiwa isra mikraj melibatkan Kuasa Allah SWT yang memperjalankan hamba-Nya. Kata asra (memperjalankan) pada Q.S al-Isra’: 1, menunjukkan adanya keterlibatan Allah dalam peristiwa ini. Nabi Muhammad SAW dengan demikian dapatlah dikatakan sebagai subjek sekaligus objeknya. Mutawaalli al-Sya’rawi (1994) menerangkan bahwa dalam peristiwa isra mikrajnya Nabi Muhammad SAW pelakunya adalah Allah SWT, yang berada di luar daya kekuatan manusia dan di atas daya jangkauan akal manusia.

Internalisasi makna shalat

Karena itu, shalat merupakan doa kebaikan untuk pelakunya, ia dapat menjadi penyambung “komunikasi” antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah SWT bahkan menyebutkan, jika pelakunya benar-benar melakukan internalisasi terhadak makna sahlat, ikhlas karena Allah SWT semata, bukan karena selain dari-Nya, akan menuntun seseorang untuk mencegah kemungkaran/keburukan (tanha ‘anil fahsyai wa al-mungkar).

Dari sana, dapatlah dimengerti, manakala terdapat seorang muslim yang perilaku kesehariannya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman, seperti perilaku korupsi, suap, suka berbohong, dan lain-lain, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa ia belum sepenuhnya mengamalkan perintah shalat. Sebab seorang yang benar-benar sukses mengamalkan shalat, dengan sendirinya ia akan menjadi orang baik, tidak akan korupsi, tidak akan mau disuap dan tidak akan menyuap, berperilaku jujur, adil, dan seterusnya.

Ritual shalat menjadikan seseorang dekat dengan Sang Pencipta. Kedekatan ini sejatinya dapat diinternalisasi bahwa apa yang kita lakukan merupakan perbuatan yang juga dibenarkan oleh Allah SWT. Artinya, perbuatan-perbuatan yang tidak mencerminakan terhadap nilai-nilai keagamaan, secara substansial menempatkan pelakunya pada posisi yang sangat jauh dengan Allah SWT.

Inilah makna penting dari Isra Mikraj. Dalam bahasa Musthafa Bisri (1995), perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW adalah perjalanan dari “sujud ke sujud”. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya perjalanan manusia adalah dari sujud ke sujud kepada yang sujudnya kepada yang layak disujudi, yaitu Allah SWT.

Maka dekatilah Allah SWT dengan shalat, agar perilaku kita terjaga dari perbuatan nista yang merugikan tidak hanya diri sendiri, tapi juga orang lain. Jadi tidaklah benar, dan perlu berefleksi diri, jika terdapat seseorang yang taat mengerjakan shalat, tapi di saat bersamaan juga menista orang lain, melakukan provokasi negatif, dan hobi bermaksiat. Rajin shalat, tapi kok juga rajin maksiat?

Facebook Comments